Minggu, 10 April 2016

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS



SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS



UIN
 











MAKALAH
Dipresentasikan Dalam Seminar Matakuliah Ulumul Hadis
Semester I Kelompok I Tahun Akademik 2014/2015
Sabtu, 9 Mei  2015

Oleh

Ahmad Ari Suhud
80200214025

Dosen Pemandu:


Prof. Dr. Hj. Andi Rasdianah
Prof. Dra. Hj. St. Aisyah Kara, MA., P.hD





PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2015
 
 
 

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah Muhammad saw baik itu berupa perkatan maupun perbuatan. Oleh karena itu hadis menjadi sumber hukum kedua dalam agama Islam. Setelah rasulullah wafat hadis kemudian mulai mendapat perhatian khusus dikalangan para sahabat-sahabat untuk tetap menjaga dan mengamalkannya.
Ada beberapa fase-fase pertumbuhan dan perkembangan hadis mulai pada saat Rasulullah masih hidup hingga kepada para sahabat-sahabat, kepada para tabi’in dan sampai saat ini, mulai dari fase lahirnya hadis hingga dituliskan dan sampai pada proses pembukuan kemudian terus dikaji sampai menghasilkan kitab-kitab hadis yang bisa kita dapatkan dimasa sekarang ini.
Sejarah perkembangan hadis baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, amat diperlukan karena dipandang satu bagian dari pelajaran hadis yang tak boleh dipisahkan, mempelajari ilmu hadis harus menitikberatkan pada mempelajari periode-periode ilmu hadis dan pemuka-pemuka ilmu hadis.[1]
1
 
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis telah melalui masa yang cukup panjang maka para Ulama mengadakan pembagian periodesasi yang berbeda-beda, ada yang membagi pertumbuhan dan perkembangan hadis sesuai dengan masanya, ada yang membagi berdasarkan prosesnya sampai dibukukan, dan ada yang melakukan periodesasi dengan cara perkembangannya, namun pada hakekatnya itu hanya berdasarkan pada aspek pengkajiannya saja, namun tujuan yang ingin dicapainya sama untuk memberikan kepada kita semua informasi seputar pertumbuhan dan perkembangan hadis.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas kami menarik beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.      Bagaimana proses kelahiran hadis?
2.      Bagaimana proses penulisan hadis?
3.      Seperti apa proses pembukuan hadis?
4.      Bagaimana proses pentasihan hadis?
5.      Seperti apa proses pengkajian hadis?
6.      Bagaimana perkembangan hadis pada masa kontemporer?











 
BAB II
P EMBAHASAN
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS
A.    Masa Kelahiran
Tahap ini berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama Hijriah ketika Raslullah saw wafat, para sahabatlah yang membawa panji-panji islam, kafilah ini berjalan mengawalinya demi menyelamatkan kemanusiaan dan  menyampaikan segala sesuatu yang diajarkan oleh Raslullah saw, waktu itu mereka telah menghafal Al-Qur’an dengan sempurna seperti halnya mereka menguasai dan memelihara hadis Nabi. Periode Rasulullah saw merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan hadis. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus sebagai masa pembentukan hadis, terbentuknya sunnah pada masa Rasulullah saw. berawal dari pengajaran beliau yang menarik perhatian para sahabat. [2]
Sebagai salah satu bentuk ketaatan dan kepatuhan tersebut, para sahabat memberi perhatian khusus dan bersungguh-sungguh dalam menerima dan mengamalkan segala yang diajarkan Raslullah saw baik yang berupa wahyu Al-qur’an maupun dari hadis sendiri, sehingga ayat-ayat Al-qur’an dan hadis dapat berimplikasi serta mempengaruhi kepribadian dan integritas para sahabat. Mereka umumnya lebih memperioritaskan hafalan dari pada melakukan kegiatan penulisan. [3]

3
 
 
          Ada tiga kebijakan yang diambil Rasulullah tentang hadisnya sendiri diantaranya:
1.      Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal dan menyampaikan hadis-hadisnya.
Diantara dalil-dalil yang menguatkan tentang hal ini antara lain sabda nabi yang diriwayatkan bukhari dan muslim:
وَحَدِّ ثُوا عَنِّى وَلَاحَرَجَ وَ مَنْ كَدَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Dan ceritakanlah dari padaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar dari padaku. Barangsiapa berdusta terhadap diriku, hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di Neraka”
      dan dari Riwayat Abdul bar
اَلاَ لِيُبَلِّغِ الشَّا هِدُ مِنَّكُمْ الغَا ئِبً
“Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir diantaramu, menyampaikan kepada orang yang tidak hadir”.[4]
Dari hadis di atas dapat diapahami bahwa Rasulullah menghendaki dan memerintahkan agar para sahabat menghafal dan menyebarkan karena pada saat itu para sahabat daya hafalnya sangat kuat, para sahabat juga terkadang tidak hadir pada saat Rasulullah menyampaikan ajaran-ajaran Islam baik disebabkan karena persoalan jauhnya jarak tempat tinggal mereka dengan tempat rasulullah, selain itu ada yang sibuk mengurus urusan sehari-hari, dan terkadang ada yang malu menanyakan langsung persoalannya kepada Rasulullah sehingga dititipkan kepada sahabat yang lainnya.
2.      Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya
Adapun dalil yang menunjukkan tentang hal ini ialah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim
لا تَكْتُبُوْا عَنِّى غَيْرَ القُرْاَنِ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّى شَيْئًا غَيْرَ القُرْاَنِ فَلْيَمْحُهُ
Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa menulis sesuatu dari selain al-Qur’an maka hapuslah,”(HR. Muslim).[5]
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa yang boleh ditulis hanyala al-qur’an karena ditakutkan ketika sahabat menulis hadis jangan sampai bercampur dengan ayat-ayat Al-qur’an. Demikian, alasan logis yang dapat diambil daripadanya.[6]
3.      Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya
Perintah ini didasarkan pada dalil-dalil hadis Rasulullah sendiri diantaranya ketika Abdullah bin Amr ibnu Ash menulis apa yang diucapkan oleh nabi diantara sahabat yang melihat hal ini kemudian menegurnya, lalu Abdullah bin Amr ibnu Ash mengadukannya kepada Rasulullah dan bertanya apakah boleh menulis hadis-hadisnya, mendengar pertanyaan ini Rasulllah menjawab :
اُكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَايَخْرُجُ مِنْهُ أِلَّاحَقُّ
“Tulislah demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya tidak keluar darinya kecuali yang hak”.[7]
Dan ada beberapa riwayat lagi yang menguatkan hal ini termasuk nabi pernah menyuruh menuliskan surat kepada petugas-petugasnya di daerah tentang kadar-kadar zakat dan riwayat tentang Abu Syah yang meminta kepada nabi agar dituliskan untuknya khutbah yang disampaikan oleh nabi, maka nabi kemudian memerintahkan kepada sahabat yang pandai menulis agar menulis dengan sabdanya:
اُكْتُبُو اِلاَبِى شَاةَ
“Tulislah untuk abu syah[8]
Dari riwayat Abu Huraira bahwa seorang sahabat Anshar menyaksikan hadis Rasulullah saw namun ia tidak hapal. Ia bertanya kepada Abu Hurairah dan kemudian dijawab oleh Abu Hurairah, dan setelah itu dia mengadu kepada Nabi perihal lemahnya daya hafalnya. Nabi bersabda:
اٍسْتَعِنْ عَلَى حِفْظِكَ بِيَمِيْنِكَ
“Bantulah hafalanmu dengan tangan kananmu”[9]
 Dari hadis-hadis diatas dapatlah diapahami penegasan Rasulullah untuk memerintahkan penulisan hadis-hadis kepada para sabahat yang telah pandai menulis untuk memperjelas perintah rasul kepada para petugas-petugas di daerah dan untuk membantu para sahabat-sahabat yang lemah daya hafalnya.
Hadis di atas kelihatannya kontroversi dengan kandungan hadis sebelumnya namun para ulama telah mengadakan pengkajian yang mengkompromikan dengan mempertemukan kedua macam hadis yang tampak bertentangan ini bahwa larangan menulis hadis ini telah dimansukhkan oleh hadis yang memerintahkan untuk menulisnya, dan larangan penulisan ini bersifat umum sedangkan untuk beberapa sahabat diizinkan atau dapat diartikan bahwa larangan ini hanya bersifat temporal [10].
            Pada zaman Rasulullah ternyata tidak sedikit diantara sahabat yang secara pribadi telah berusaha mencatat hadis-hadis Rasululllah. Catatan-catatan itu ditulis dipelapah kurma, kulit kayu dan tulang hewan serta diberi nama yang berbeda beda antara lain daftar, kurrasah, diwan, kitab, shahifah, tumar, darj. Sekitar 52 orang sahabat yang memeiliki shahifah yang memuat hadis-hadis yang diterimanya dari Nabi saw ataupun mendiktekannya kepada murid-murid mereka. [11]
B.     Masa Penulisan
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan penyebarannya kepada masyarakat luas, tidak terkecuali ini telah menjadi suatu media dalam upaya pemeliharaan hadis, meskipun dalam hal ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dan pandangan yang beraneka ragam. Berkenaan dengan penulisan hadis telah lahir sejumlah kitab, baik zaman dahulu maupun zaman belakang.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini bahwa memang pada awalnya nabi melarang untuk menulis hadis namun adapula riwayat yang membolehkan hal itu sehingga ada sebagian sahabat yang menulis hadis diantaranya Ali dan Abdullan bin Amr bin Ash, namun pada saat masa khalifah Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib hadis masih disebarkan melalui periwayatan lisan dari sahabat yang satu ke sahabat yang lainnya.
Namun pada masa Abad kedua Hijriah atau masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (w.101.H = 720 M) dimana daerah pemerintahan Islam yang sangat luas sehingga para sahabat-sahabat terpencar kebebrapa daerah-daerah untuk mengembangkan Islam dan memberikan bimbingan kepada masyarakat, ini mengakibatkan semakin banyaknya sahabat yang sudah tua dan akhirnya meninggal banyak pula yang meninggal dalam peperangan guna untuk menyebarluaskan Islam maka jumlah para sahabat yang menguasai hadis semakin menjadi sedikit sedangkan hadis sendiri belum ditulis secara massal apa lagi dibukukan.[12]
Pada akhir abad I hijriah, atau memasuki awal abad ke II hijriah tulisan-tulisan tentang hadis semakin banyak ditemukan, namun tidak tertata dengan baik, yakni belum memiliki metode tersendiri. Agar penulisan hadis-hadis tetap mentradisi, maka keluarlah intruksi dari khalifah Umar bin Abdul Asiz untuk menulis hadi-hadis secara efektif yaitu tertata dengan baik dan menggunakan metode-metode tertentu. [13]
C.    Masa Pembukuan
Setelah Islam tersebar dan wilayahnya semakin luas, tersiarlah bid’ah-bid’ah, para sahabat terpencar di beberapa kota dan banyak diantara mereka yang meninggal dunia baik yang ikut berperang maupun karena mereka sakit, maka hafalan dan daya ingat terhadap hadis nyaris berkurang dan melemah. Keadaan demikian menuntut adanya pembukuan dan penulisan hadis secara menyeluruh. Oleh karena itu pada abad kedua Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada para pejabat dan qadhinya di Madinah, Abu Bakar bin Hazm.
Periksalah mana saja yang termasuk hadis Rasulullah saw. maka tulislah karena, sesungguhnya aku khawatir terhadap musnahnya ilmu agama dan wafatnya para ulama”[14]
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Abu Bakar bin Hazm menulis hadis hadis yang ada pada Marah binti Abdur Rahman Al-Anshariyah dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Dia juga mengirim surat kepada pejabat-pejabat dibeberapa pusat kota Islam agar mengumpulkan hadis. Diantara orang yang menerima perintah tersebut ialah Muahammad bin Syihab al-Zuhri. Pada masa itu ulama Islam bergerak menulis dan membukukan sunnah, sehingga tersebarlah beberapa penulisan sunnah pada suatu periode sesudah Al-Zuhri tersebut diantaranya ialah:
1.      Ibnu Juraij di Mekah Pada 150 H
2.      Ibnu Ishak di Madinah pada 179 H
3.      Rabi’ah Subeh di Bashrah pada 106 H
4.      Sufyan al-Tsauri di Kufah pada 161 H
5.      Al-Auza’i di Syam pada 156 H
6.      Husyaimi di Khurasan pada 181 H[15]
Pengumpulan hadis-hadis tersebut terjadi dalam satu periode, dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu. Kemudian, pada periode berikutnya banyak penulis hadis yang menyusun kitab hadis seperti yang dilakukan oleh ulama pada periode sebelumnya.
Adapun sistematika penulisan kitab hadis mereka ialah dengan menghimpun hadis-hadis yang tergolong dalam satu munasabah atau hadis-hadis yang ada hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya dihimpung dalam satu bab, kemudian disusun menjadi beberapa bab sehingga menjadi satu kitab. Mereka masih mencampurkan antara hadis dengan atsar sahabat dan tabi’in, tidak seperti apa yang telah disusun oleh ulama-ulama ahli hadis pada periode pertema seperti al-Zuhri, dimana mereka menyusun kitabnya denang mengkhususkan setiap satu bab terdiri dari hadis-hadis yang terkait satu sama lainnya.
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini yang sudah dicetak dan  beredar antara lain :
1.      Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas
2.      Al-Mushannif karya Abdurrazak bin Hammam As-Shan’ani
3.       As-Sunah karya Said bin Mansur
4.      Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah.[16]
D.    Masa Pentashihan
Masa pentahsihan adalah masa seleksi atau penyaringan hadis dimulai pada awal abad keempat hijriah yakni pada zaman al-Muktadir, khalifah dinasti Bani Abbas. Munculnya periode seleksi ini karena pada masa sebelumnya para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf, dan maqthu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang shahih dari yang dhaif. Bahkan masih ada hadis palsu yang bercampur dengan hadis sahih.[17]
Untuk menyaring hadis-hadis itu serta membedakan hadis-hadis yang sahih dari yang palsu dan dari yang lemah, maka Ishaq ibn Rahawih sebagai pencetus utama atas usaha memisahakan antara hadis-hadis yang sahih dan tidak, kemudian dilanjutkan oleh Imam Al-Bukhari dengan menyusun kitabnya Al-Jami’us Shahih atau lebih dikenal dengan nama shahih Bukhari[18], kemudian Imam Muslim menyusun hadis sahih yang dikenal dengan nama Shahih Muslim.
Berbagai langkah yang diambil oleh para ulama dalam usaha mengkritik keorisinilan suatu hadis adalah dengan mengisnadkan hadis, memeriksa benar tidaknya hadis kepada para ahli hadis yang memiliki kapasitas, mengkritik para perawinya dan menerangkan keadaan-keadaan mereka tentang kebenarannya dan kedustaannya, membuat undang-undang umum untuk menetukan derajat-derajat hadis, dan menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah kaidah maudlu. [19]
Diantara tokoh-tokoh hadis yang lahir pada abad ini adalah Ali Ibnul Madany, Abu Hati Ar Razy, Muhammad ibn Jarir Ath Thabary, Muhammad ibn Sa’ad, Ishaq ibnu Rahawaih, Ahmad, Al Bukhary, Muslim, An-Nasay, Abu Daud, At Turmudzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah Ad Dainury, dengan melahirkan kitabnya masing masing.
Secara garis besar tersusulan 3 macam kitab pertama, kitab-kitab sahih dimana penyusunannya hanya memasukkan hadis-hadis yang sahih saja kedua, kitab sunan dimana penyusunannya tidak memasukkan hadis-hadis yang munkar dan sepertinya ketiga, kitab musnad yang penyusunanya memasukkan segala rupa hadis yang diterima dengan tidak menyaring dan menerangkan derajat-derajatnya, dan ada pula yang menyusun berdasarkan musnad  yaitu menyusun menurut nama perawinya dan ada pula yang menyusun dengan cara mushannaf yaitu menyusun hadis menurut nama babnya.[20]
Diantara kitab-kitab yang dihimpun pada masa ini dikenal dengan  Kutub al-Sitta (Kitab induk yang enam).[21]
Secara lengkap kitab induk yang enam tersebut dapat diurutkan sebagai berikut : 
1.      Al-Jami’al-Shahih susunan Imam al-Bukhari
2.      Al-Jami’al-Shahih susunan Imam Muslim
3.      Al-Sunan susunan Abu Dawud
4.       Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi
5.       Al-Sunan susunan An-Nasa’i
6.      Al-Sunan susunan Ibnu Majah[22]
E.     Masa Pengkajian
Setelah hampir semua hadis telah dikumpulkan sebagaimana dibahas dalam pembahasan sebelumnya maka masuklah ke masa pengkajian dimana pada masa ini hadis para ulama tidak lagi melakukan lawatan ke daerah-daerah untuk mencari hadis namun hanya menertibkan hadis-hadis yang  telah disusun pada masa sebelumnya, diantara upaya yang dilakukan itu seperti mempelajari, menghapal, memeriksa sanad dan menyusun kitab kitab baru dengan tujuan untuk menertibkan semua sanad dan matan yang saling berhubungan.[23]
Pada masa ini penyusunan hadis dapat kita lebih seperti pada kitab-kitab berikut ini:
1.      Kitab Athraf dimana kitab ini disusun dengan hanya menyebut sebagian matan hadis tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, dengan mengutip sanad yang terdapat pada berbagai kitab hadis yang telah ada sebelumnya.
2.      Kitab Mustakhraj kitab ini disusun dengan memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim atau keduanya, adapun contoh kitab yang disusun adalah karya Al-Jurjani, mustakhraj Muslim.
3.      Kitab Mustadrak, kitab ini disusun dengan cara menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Al-Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya, contoh kitab seperti terdapat pada karya Al-Hakim dengan judul al-Ilzamat.
4.      Kitab Jami’, kitab ini disusun dengan cara menghimpun dari kitab-kitab sahih Bukhari dan Muslim atau dari Al-Kutub Al-Sittah contoh kitab ini adalah kitab yang disusun oleh al-Bagawi dengan judul Al-Jami’ bain Al-Shahihain.[24]
Pada masa ini ada sebagian ulama juga menghimpun hadis-hadis nabi berdasarkan masalah-masalah tertentu misalnya menghimpun hadis-hadis hukum seperti pada kitab Muntaqa al-Akbar fi al-Ahkam yang disusun oleh Abd. Al-Salam, hadis tentang keutamaan amal, menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dibenci (Tagrib Wa al-Tarhib) seperti pada kitab al-Targhib wa al-Tarhib karya al-Mundziri.[25]

F.     Masa Kontemporer
Masa kontemporer adalah masa dimana pengkajian hadis pada abad abad terakhir, Masa kontemporer dalam konteks ini adalah zaman mutaakhkhirin, yaitu era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.[26] Disini dapat kita lihat masa pengkajian hadis yang begitu lama mulai dari masa rasulullah atau lahirnya hadis samapai pada saat sekarang ini.
Seperti kita ketahui para muhadditsin yang hidup pada abad kedua dan ketiga dinamakan “Mutaqaddimin” sedang yang hidup pada abad keempat dinakaman “Mutaakhkhirin” dan kebanyakan yang mereka kumpulkan adalah dari hasil petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin.[27]
Ciri-ciri masa ini hampir sama dengan masa pengkajian, hanya saja cakupannya diperluas. Misalnya masa pengkajian mengumpulkan dari beberapa kitab hadits lalu disistematisasi menurut kehendak muallif. Pada masa ini disamping mengumpulkan para ulama juga menyusun kitab zawid yakni penyusunan kitab yang hadis-hadis tidak termuat dan tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumya. Demikian juga merenovasi nilai-nilainya dalam kitab tertentu serta menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis yang semula perawinya tidak disebutkan.[28]
Kecenderungan Ulama Mutaakhkhirin adalah menyusun hadis menurut topik (mawdhu) yang dibicarakan, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Menetapkan masalah atau topik yang akan dibahas
2.      Menghimpun hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut
3.      Menyusun runtutan hadis sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbabul wurudnya.
4.      Memahami korelasi hadis-hadis tersebut dalam babnya masing-masing
5.      Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
6.      melengkapi pembahasan dengan ayat-ayat yang relevan dengan topic tersebut
7.      Mempelajari hadis-hadis tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun hadis-hadis yang mempunyai makna yang sama atau mengkompromikan anatara yang amm (umum) dan yang khas (khusus), Muthlaq yang Muqayyad (terikat) atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara perbedaan atau pemaksaan.[29]
Tokoh-tokoh hadits pada masa kontemporer antara lain :
1.      Imam Az-Zahabi, as-Suyuti (w 911 H)
2.       Ibnu Taimiyah (611-728 H = 1263-1328 M)
3.      Ibnu Hajar al-Asqalani (773-853 H)
4.      Imam Muhammad Abu Zahrah (w 1394 H)
5.      Syekh Mansur Ali Nasif, Syekh Ismail bin Muhammad bin Abdul Hadi  Al-Ajluni al-jarahi (w 1162 H = 1749 M)
6.      Muhammad bin Asy-Syaukani (w 1250 H = 1834 M)[30]
Disamping itu tokoh hadits kontemporer yang paling terkenal sekarang ini adalah Yusuf Qardhawi yang lahir di Mesir (9 September 1926) dan Muhammad al-Ghazali lahir di Mesir Tahun 1917 dan wafat 1996.[31]
Disamping itu masa kontemporer juga dikenal dengan masa pembahasan hadis yang dikaitkan dengan perkembangan pengetahuan modern sebagai akibat dari persentuhan dantara dunia Islam dengan Barat, diantara ulama yang tergolong dalam periode ini al-Qasimi, Mahmud al-Thahan, Abu Syuhbah, Shubhi al-Shalih, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, M.Azami, Mustafa al-Sibai, Nur al-Din ‘Itr, A.Hasan, T.M Hasbi Ash-Shiddiqie, dan Muhammad Syuhudi Ismail.[32]














 
BAB III
KESIMPULAN

Periode lahirnya hadis dimana Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal dan menyampaikan hadis-hadisnya dan melarang untuk ditulis karena ditakutkan para sahabat mencampur adukkan antara hadis dan al-qur’an kemudian keluar perintah untuk menulis untuk sahabat-sahabat tertentu.
Penulisan hadis sebenarnya telah ada pada masa rasulullah namun hanya sebatas catatan-catan para sahabat terdekat dan orang-orang yang dinaggap cakap dan mampu dalam membedakan hadis dan al-qur’an itu sendiri, hadis secara resmi mulai diperintahkan untuk ditulis yakni pada masa pemerintahan bani Umayah pada khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian dilanjutkan dengan pembukuan hadis meskipun masih sebatas pengumpulan dari para hapalan-hapalan sahabat yang kemudian dikumpul dan dijadikan sebuah kitab hadis, karena kekhawatiran atas banyaknya para sahabat penghafal hadis yang meninggal.
Masa pentashihan atau penyaringan hadits dimulai ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti bani Abbas, khususnya sejak masa al-Makmum sampai dengan al-Muktadir (sekitar tahun 201–300 H), kemudian dilanjutkan ke masa Pengkajian hadits para ulama hadits mengalihkan perhatiannya  untuk menyusun kitab-kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Terakhir masa kontemporer adalah zaman mutaakhkhirin, yaitu era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
17
 
 

 
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti, Kontribusi Imam Al-Bukhari dalam Validitas Hadis, Makassar: Alauddin Press, 2011

Amin, Muhammadiyah, Ilmu Hadis, cet.II; Gorontalo: Sultan Amai Press. 2011

Al-Khatib, M. Ajaj, As-Sunnah Qablat-Tadwin, terj. AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan . Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999

Al-Maliki, Muhammad Alawi, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, Terj. Adnan Qohar, Ilmu Hadis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012

Al shalih , Subhi, Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, Cet. IX; Bairut: Dar-Al-Ulum al-Malayin, 1977

Al-Qatthan Manna, Mabahits fi Ulumil Al-Hadits, terj. Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta; Raja Grapindo Persada, 2007

Bustamin, M. Isa, H .A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT.Raja  Grapindo Persada, 2004

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Suplemen Ensiklopedi Islam, Cet. IV: Jakarta;  Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997

Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1994

‘Itr, Nuruddin. Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadis, terj. Mujiyo, Ulumul Hadis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012

Mudatstdir, ilmu hadis, Cet.I; bandung: Pustaka Setia, 1999

Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2005

18
 
Supartam, Munzier, Ilmu Hadits, Cet. III; Jakarta: PT. Raja g


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h.24
[2] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadis (Cet.II; Gorontalo: Sultan Amai Press. 2011), h. 30

[3] Siti Aisyah, Kontribusi Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis (Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 20
[4] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), h.76
[5] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Ilmu Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.20

[6] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1994), h.77

[7] Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadis, terj. Mujiyo, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 29
[8] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.78

[9] M. Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, terj. AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.346
[10] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.79

[11] Siti Aisyah, Kontribusi Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis, h.28
[12] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.101

[13] Siti Aisyah, Kontribusi Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis, h.34
[14] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Ilmu Hadis, h.20

[15] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Ilmu Hadis, h. 21
                [16]Manna al-Qathan, Mabahits fi Ulumil al-Hadits, terj. Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Cet. II: Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2006) hal. 54
[17] Mudatstdir, Ilmu Hadis (Cet.I; bandung: Pustaka Setia, 1999), h.109

[18] Siti Aisyah. Kontribusi Imam Al-Bukhari dalam Validitas Hadis, h.38
[19] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 75-79

[20] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 80-83

                [21]Subhi al Shalih, Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, (Cet. IX; Bairut: Dar-Al-Ulum al-Malayin, 1977), hal. 84
                [22] Munzier Supartam Ilmu Hadits, (Cet. III; Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2002) hal. 93
[23] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadis,. h.58
[24] Muhammadiyah Amin. Ilmu Hadis. h. 58

[25] Muhammadiyah Amin. Ilmu Hadis. h. 59
                [26] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta; Raja Grapindo Persada, 2007) hal. 68
[27] Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 153
                [28] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis hal. 47

                [29]Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan Studi Islam , hal. 154
                [30] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Suplemen Ensiklopedi Islam, (Cet. IV: Jakarta;  Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997) hal. 157-158
                [31] Bustamin dan M.Isa HAL.A.salam Metodologi Kritik Hadits, (Cet. I: Jakarta; PT. Raja Grapindo Persada, 2004), hal. 89 dan 90
[32] Siti Aisyah. Kontribusi Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis, h.42
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar