SEJARAH
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS
![]() |
MAKALAH
Dipresentasikan Dalam Seminar
Matakuliah Ulumul Hadis
Semester I Kelompok I Tahun
Akademik 2014/2015
Sabtu, 9 Mei 2015
Oleh
Ahmad Ari Suhud
80200214025
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdianah
Prof. Dra. Hj. St. Aisyah Kara, MA., P.hD
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2015
|
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah Muhammad saw
baik itu berupa perkatan maupun perbuatan. Oleh karena itu hadis menjadi sumber
hukum kedua dalam agama Islam. Setelah rasulullah wafat hadis kemudian mulai
mendapat perhatian khusus dikalangan para sahabat-sahabat untuk tetap menjaga
dan mengamalkannya.
Ada beberapa fase-fase pertumbuhan dan perkembangan hadis mulai
pada saat Rasulullah masih hidup hingga kepada para sahabat-sahabat, kepada
para tabi’in dan sampai saat ini, mulai dari fase lahirnya hadis hingga
dituliskan dan sampai pada proses pembukuan kemudian terus dikaji sampai
menghasilkan kitab-kitab hadis yang bisa kita dapatkan dimasa sekarang ini.
Sejarah perkembangan hadis baik perkembangan riwayat-riwayatnya
maupun pembukuannya, amat diperlukan karena dipandang satu bagian dari
pelajaran hadis yang tak boleh dipisahkan, mempelajari ilmu hadis harus
menitikberatkan pada mempelajari periode-periode ilmu hadis dan pemuka-pemuka
ilmu hadis.[1]
|
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas kami menarik beberapa
rumusan masalah diantaranya:
1.
Bagaimana
proses kelahiran hadis?
2.
Bagaimana
proses penulisan hadis?
3.
Seperti apa
proses pembukuan hadis?
4.
Bagaimana
proses pentasihan hadis?
5.
Seperti apa
proses pengkajian hadis?
6.
Bagaimana
perkembangan hadis pada masa kontemporer?
|
P EMBAHASAN
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
HADIS
A.
Masa
Kelahiran
Tahap ini berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad
pertama Hijriah ketika Raslullah saw wafat, para sahabatlah yang membawa
panji-panji islam, kafilah ini berjalan mengawalinya demi menyelamatkan
kemanusiaan dan menyampaikan segala
sesuatu yang diajarkan oleh Raslullah saw, waktu itu mereka telah menghafal
Al-Qur’an dengan sempurna seperti halnya mereka menguasai dan memelihara hadis
Nabi. Periode Rasulullah saw merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan hadis.
Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus sebagai masa
pembentukan hadis, terbentuknya sunnah pada masa Rasulullah saw. berawal dari
pengajaran beliau yang menarik perhatian para sahabat. [2]
Sebagai salah satu bentuk ketaatan dan kepatuhan tersebut, para
sahabat memberi perhatian khusus dan bersungguh-sungguh dalam menerima dan
mengamalkan segala yang diajarkan Raslullah saw baik yang berupa wahyu Al-qur’an
maupun dari hadis sendiri, sehingga ayat-ayat Al-qur’an dan hadis dapat
berimplikasi serta mempengaruhi kepribadian dan integritas para sahabat. Mereka
umumnya lebih memperioritaskan hafalan dari pada melakukan kegiatan penulisan. [3]
|
Ada tiga kebijakan yang diambil Rasulullah
tentang hadisnya sendiri diantaranya:
1.
Rasulullah
memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal dan menyampaikan
hadis-hadisnya.
Diantara dalil-dalil yang menguatkan tentang hal ini antara lain
sabda nabi yang diriwayatkan bukhari dan muslim:
وَحَدِّ ثُوا عَنِّى وَلَاحَرَجَ وَ مَنْ كَدَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Dan
ceritakanlah dari padaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa
yang kamu dengar dari padaku. Barangsiapa berdusta terhadap diriku, hendaklah
dia bersedia menempati kediamannya di Neraka”
dan dari Riwayat Abdul
bar
اَلاَ
لِيُبَلِّغِ الشَّا هِدُ مِنَّكُمْ الغَا ئِبً
“Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir diantaramu, menyampaikan
kepada orang yang tidak hadir”.[4]
Dari hadis di atas
dapat diapahami bahwa Rasulullah menghendaki dan memerintahkan agar para
sahabat menghafal dan menyebarkan karena pada saat itu para sahabat daya
hafalnya sangat kuat, para sahabat juga terkadang tidak hadir pada saat Rasulullah
menyampaikan ajaran-ajaran Islam baik disebabkan karena persoalan jauhnya jarak
tempat tinggal mereka dengan tempat rasulullah, selain itu ada yang sibuk
mengurus urusan sehari-hari, dan terkadang ada yang malu menanyakan langsung
persoalannya kepada Rasulullah sehingga dititipkan kepada sahabat yang lainnya.
2.
Rasulullah melarang
para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya
Adapun dalil yang menunjukkan
tentang hal ini ialah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim
لا تَكْتُبُوْا عَنِّى غَيْرَ القُرْاَنِ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّى شَيْئًا
غَيْرَ القُرْاَنِ فَلْيَمْحُهُ
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa menulis sesuatu dari selain al-Qur’an maka
hapuslah,”(HR. Muslim).[5]
Dari hadis ini
dapat dipahami bahwa yang boleh ditulis hanyala al-qur’an karena ditakutkan
ketika sahabat menulis hadis jangan sampai bercampur dengan ayat-ayat Al-qur’an.
Demikian, alasan logis yang dapat diambil daripadanya.[6]
3.
Rasulullah
memerintahkan kepada para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya
Perintah ini didasarkan pada dalil-dalil hadis Rasulullah sendiri
diantaranya ketika Abdullah bin Amr ibnu Ash menulis apa yang diucapkan oleh
nabi diantara sahabat yang melihat hal ini kemudian menegurnya, lalu Abdullah
bin Amr ibnu Ash mengadukannya kepada Rasulullah dan bertanya apakah boleh
menulis hadis-hadisnya, mendengar pertanyaan ini Rasulllah menjawab :
اُكْتُبْ فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَايَخْرُجُ مِنْهُ أِلَّاحَقُّ
“Tulislah
demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya tidak keluar darinya kecuali yang hak”.[7]
Dan ada beberapa riwayat lagi yang menguatkan hal ini termasuk nabi
pernah menyuruh menuliskan surat kepada petugas-petugasnya di daerah tentang
kadar-kadar zakat dan riwayat tentang Abu Syah yang meminta kepada nabi agar
dituliskan untuknya khutbah yang disampaikan oleh nabi, maka nabi kemudian
memerintahkan kepada sahabat yang pandai menulis agar menulis dengan sabdanya:
اُكْتُبُو اِلاَبِى شَاةَ
“Tulislah untuk abu syah[8]
Dari riwayat Abu Huraira bahwa seorang sahabat Anshar menyaksikan hadis
Rasulullah saw namun ia tidak hapal. Ia bertanya kepada Abu Hurairah dan
kemudian dijawab oleh Abu Hurairah, dan setelah itu dia mengadu kepada Nabi
perihal lemahnya daya hafalnya. Nabi bersabda:
اٍسْتَعِنْ
عَلَى حِفْظِكَ بِيَمِيْنِكَ
“Bantulah
hafalanmu dengan tangan kananmu”[9]
Dari hadis-hadis diatas
dapatlah diapahami penegasan Rasulullah untuk memerintahkan penulisan
hadis-hadis kepada para sabahat yang telah pandai menulis untuk memperjelas perintah
rasul kepada para petugas-petugas di daerah dan untuk membantu para
sahabat-sahabat yang lemah daya hafalnya.
Hadis di atas kelihatannya kontroversi dengan kandungan hadis
sebelumnya namun para ulama telah mengadakan pengkajian yang mengkompromikan
dengan mempertemukan kedua macam hadis yang tampak bertentangan ini bahwa
larangan menulis hadis ini telah dimansukhkan oleh hadis yang memerintahkan
untuk menulisnya, dan larangan penulisan ini bersifat umum sedangkan untuk beberapa
sahabat diizinkan atau dapat diartikan bahwa larangan ini hanya bersifat
temporal [10].
Pada zaman Rasulullah
ternyata tidak sedikit diantara sahabat yang secara pribadi telah berusaha mencatat
hadis-hadis Rasululllah. Catatan-catatan itu ditulis dipelapah kurma, kulit
kayu dan tulang hewan serta diberi nama yang berbeda beda antara lain daftar,
kurrasah, diwan, kitab, shahifah, tumar, darj. Sekitar 52 orang sahabat
yang memeiliki shahifah yang memuat hadis-hadis yang diterimanya dari
Nabi saw ataupun mendiktekannya kepada murid-murid mereka. [11]
B.
Masa
Penulisan
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu
pengetahuan dan penyebarannya kepada masyarakat luas, tidak terkecuali ini
telah menjadi suatu media dalam upaya pemeliharaan hadis, meskipun dalam hal
ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dan pandangan yang beraneka ragam.
Berkenaan dengan penulisan hadis telah lahir sejumlah kitab, baik zaman dahulu
maupun zaman belakang.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini
bahwa memang pada awalnya nabi melarang untuk menulis hadis namun adapula
riwayat yang membolehkan hal itu sehingga ada sebagian sahabat yang menulis
hadis diantaranya Ali dan Abdullan bin Amr bin Ash, namun pada saat masa khalifah
Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib hadis masih disebarkan melalui periwayatan
lisan dari sahabat yang satu ke sahabat yang lainnya.
Namun pada masa Abad kedua Hijriah atau masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz (w.101.H = 720 M) dimana daerah pemerintahan Islam yang sangat luas
sehingga para sahabat-sahabat terpencar kebebrapa daerah-daerah untuk
mengembangkan Islam dan memberikan bimbingan kepada masyarakat, ini mengakibatkan
semakin banyaknya sahabat yang sudah tua dan akhirnya meninggal banyak pula yang
meninggal dalam peperangan guna untuk menyebarluaskan Islam maka jumlah para
sahabat yang menguasai hadis semakin menjadi sedikit sedangkan hadis sendiri
belum ditulis secara massal apa lagi dibukukan.[12]
Pada akhir abad I hijriah, atau memasuki awal abad ke II hijriah
tulisan-tulisan tentang hadis semakin banyak ditemukan, namun tidak tertata
dengan baik, yakni belum memiliki metode tersendiri. Agar penulisan hadis-hadis
tetap mentradisi, maka keluarlah intruksi dari khalifah Umar bin Abdul Asiz
untuk menulis hadi-hadis secara efektif yaitu tertata dengan baik dan
menggunakan metode-metode tertentu. [13]
C.
Masa
Pembukuan
Setelah Islam tersebar dan wilayahnya semakin luas, tersiarlah bid’ah-bid’ah,
para sahabat terpencar di beberapa kota dan banyak diantara mereka yang
meninggal dunia baik yang ikut berperang maupun karena mereka sakit, maka
hafalan dan daya ingat terhadap hadis nyaris berkurang dan melemah. Keadaan
demikian menuntut adanya pembukuan dan penulisan hadis secara menyeluruh. Oleh
karena itu pada abad kedua Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz mengirim surat
kepada para pejabat dan qadhinya di Madinah, Abu Bakar bin Hazm.
“Periksalah
mana saja yang termasuk hadis Rasulullah saw. maka tulislah karena, sesungguhnya
aku khawatir terhadap musnahnya ilmu agama dan wafatnya para ulama”[14]
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Abu Bakar bin Hazm
menulis hadis hadis yang ada pada Marah binti Abdur Rahman Al-Anshariyah dan
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Dia juga mengirim surat kepada
pejabat-pejabat dibeberapa pusat kota Islam agar mengumpulkan hadis. Diantara
orang yang menerima perintah tersebut ialah Muahammad bin Syihab al-Zuhri. Pada
masa itu ulama Islam bergerak menulis dan membukukan sunnah, sehingga
tersebarlah beberapa penulisan sunnah pada suatu periode sesudah Al-Zuhri
tersebut diantaranya ialah:
1.
Ibnu Juraij di
Mekah Pada 150 H
2.
Ibnu Ishak di Madinah
pada 179 H
3.
Rabi’ah Subeh
di Bashrah pada 106 H
4.
Sufyan al-Tsauri
di Kufah pada 161 H
5.
Al-Auza’i di
Syam pada 156 H
6.
Husyaimi di
Khurasan pada 181 H[15]
Pengumpulan hadis-hadis tersebut terjadi dalam satu periode, dan
tidak diketahui mana yang lebih dahulu. Kemudian, pada periode berikutnya
banyak penulis hadis yang menyusun kitab hadis seperti yang dilakukan oleh
ulama pada periode sebelumnya.
Adapun sistematika penulisan kitab hadis mereka ialah dengan
menghimpun hadis-hadis yang tergolong dalam satu munasabah atau hadis-hadis
yang ada hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya dihimpung dalam satu
bab, kemudian disusun menjadi beberapa bab sehingga menjadi satu kitab. Mereka
masih mencampurkan antara hadis dengan atsar sahabat dan tabi’in, tidak seperti
apa yang telah disusun oleh ulama-ulama ahli hadis pada periode pertema seperti
al-Zuhri, dimana mereka menyusun kitabnya denang mengkhususkan setiap satu bab
terdiri dari hadis-hadis yang terkait satu sama lainnya.
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini yang sudah
dicetak dan beredar antara lain :
1.
Al-Muwaththa’ karya
Imam Malik bin Anas
2.
Al-Mushannif
karya Abdurrazak bin Hammam As-Shan’ani
3.
As-Sunah karya Said bin Mansur
4.
Al-Mushannaf
karya Abu Bakar bin Abu Syaibah.[16]
D.
Masa
Pentashihan
Masa pentahsihan adalah masa seleksi atau penyaringan hadis dimulai
pada awal abad keempat hijriah yakni pada zaman al-Muktadir, khalifah dinasti
Bani Abbas. Munculnya periode seleksi ini karena pada masa sebelumnya para
ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf, dan maqthu’ dari
hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang shahih
dari yang dhaif. Bahkan masih ada hadis palsu yang bercampur dengan
hadis sahih.[17]
Untuk menyaring hadis-hadis itu serta membedakan hadis-hadis yang
sahih dari yang palsu dan dari yang lemah, maka Ishaq ibn Rahawih sebagai
pencetus utama atas usaha memisahakan antara hadis-hadis yang sahih dan tidak,
kemudian dilanjutkan oleh Imam Al-Bukhari dengan menyusun kitabnya Al-Jami’us
Shahih atau lebih dikenal dengan nama shahih Bukhari[18],
kemudian Imam Muslim menyusun hadis sahih yang dikenal dengan nama Shahih
Muslim.
Berbagai langkah yang diambil oleh para ulama dalam usaha
mengkritik keorisinilan suatu hadis adalah dengan mengisnadkan hadis, memeriksa
benar tidaknya hadis kepada para ahli hadis yang memiliki kapasitas, mengkritik
para perawinya dan menerangkan keadaan-keadaan mereka tentang kebenarannya dan
kedustaannya, membuat undang-undang umum untuk menetukan derajat-derajat hadis,
dan menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah kaidah maudlu. [19]
Diantara tokoh-tokoh hadis yang lahir pada abad ini adalah Ali
Ibnul Madany, Abu Hati Ar Razy, Muhammad ibn Jarir Ath Thabary, Muhammad ibn
Sa’ad, Ishaq ibnu Rahawaih, Ahmad, Al Bukhary, Muslim, An-Nasay, Abu Daud, At
Turmudzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah Ad Dainury, dengan melahirkan kitabnya
masing masing.
Secara garis besar tersusulan 3 macam kitab pertama,
kitab-kitab sahih dimana penyusunannya hanya memasukkan hadis-hadis yang sahih
saja kedua, kitab sunan dimana penyusunannya tidak memasukkan
hadis-hadis yang munkar dan sepertinya ketiga, kitab musnad
yang penyusunanya memasukkan segala rupa hadis yang diterima dengan tidak
menyaring dan menerangkan derajat-derajatnya, dan ada pula yang menyusun
berdasarkan musnad yaitu menyusun
menurut nama perawinya dan ada pula yang menyusun dengan cara mushannaf yaitu
menyusun hadis menurut nama babnya.[20]
Diantara kitab-kitab yang dihimpun pada masa ini dikenal
dengan Kutub al-Sitta (Kitab
induk yang enam).[21]
Secara lengkap kitab induk yang enam tersebut dapat
diurutkan sebagai berikut :
1.
Al-Jami’al-Shahih
susunan Imam al-Bukhari
2.
Al-Jami’al-Shahih
susunan Imam Muslim
3.
Al-Sunan
susunan Abu Dawud
4.
Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi
5.
Al-Sunan susunan An-Nasa’i
6.
Al-Sunan susunan
Ibnu Majah[22]
E.
Masa
Pengkajian
Setelah hampir semua hadis telah dikumpulkan sebagaimana dibahas
dalam pembahasan sebelumnya maka masuklah ke masa pengkajian dimana pada masa
ini hadis para ulama tidak lagi melakukan lawatan ke daerah-daerah untuk mencari
hadis namun hanya menertibkan hadis-hadis yang
telah disusun pada masa sebelumnya, diantara upaya yang dilakukan itu
seperti mempelajari, menghapal, memeriksa sanad dan menyusun kitab kitab baru
dengan tujuan untuk menertibkan semua sanad dan matan yang saling berhubungan.[23]
Pada masa ini penyusunan hadis dapat kita lebih seperti pada
kitab-kitab berikut ini:
1.
Kitab Athraf
dimana kitab ini disusun dengan hanya menyebut sebagian matan hadis tertentu
kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, dengan mengutip sanad yang
terdapat pada berbagai kitab hadis yang telah ada sebelumnya.
2.
Kitab Mustakhraj
kitab ini disusun dengan memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim atau keduanya, adapun contoh kitab yang disusun adalah karya
Al-Jurjani, mustakhraj Muslim.
3.
Kitab Mustadrak,
kitab ini disusun dengan cara menghimpun hadis-hadis yang memiliki
syarat-syarat Al-Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya, contoh kitab
seperti terdapat pada karya Al-Hakim dengan judul al-Ilzamat.
4.
Kitab Jami’,
kitab ini disusun dengan cara menghimpun dari kitab-kitab sahih Bukhari dan
Muslim atau dari Al-Kutub Al-Sittah contoh kitab ini adalah kitab yang disusun
oleh al-Bagawi dengan judul Al-Jami’ bain Al-Shahihain.[24]
Pada masa ini
ada sebagian ulama juga menghimpun hadis-hadis nabi berdasarkan masalah-masalah
tertentu misalnya menghimpun hadis-hadis hukum seperti pada kitab Muntaqa
al-Akbar fi al-Ahkam yang disusun oleh Abd. Al-Salam, hadis
tentang keutamaan amal, menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang dibenci (Tagrib Wa al-Tarhib) seperti pada
kitab al-Targhib wa al-Tarhib karya al-Mundziri.[25]
F.
Masa
Kontemporer
Masa
kontemporer adalah masa dimana pengkajian hadis pada abad abad terakhir, Masa
kontemporer dalam konteks ini adalah zaman mutaakhkhirin, yaitu era tahun-tahun
terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.[26]
Disini dapat kita lihat masa pengkajian hadis yang begitu lama mulai dari masa
rasulullah atau lahirnya hadis samapai pada saat sekarang ini.
Seperti
kita ketahui para muhadditsin yang hidup pada abad kedua dan ketiga
dinamakan “Mutaqaddimin” sedang yang hidup pada abad keempat dinakaman “Mutaakhkhirin”
dan kebanyakan yang mereka kumpulkan adalah dari hasil petikan atau nukilan
dari kitab-kitab Mutaqaddimin.[27]
Ciri-ciri masa ini
hampir sama dengan masa pengkajian, hanya saja cakupannya diperluas. Misalnya
masa pengkajian mengumpulkan dari beberapa kitab hadits lalu disistematisasi
menurut kehendak muallif. Pada masa ini disamping mengumpulkan para ulama juga
menyusun kitab zawid yakni penyusunan kitab yang hadis-hadis tidak termuat dan
tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumya. Demikian juga merenovasi
nilai-nilainya dalam kitab tertentu serta menerangkan tempat-tempat pengambilan
hadis-hadis yang semula perawinya tidak disebutkan.[28]
Kecenderungan
Ulama Mutaakhkhirin adalah menyusun hadis menurut topik (mawdhu) yang
dibicarakan, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Menetapkan
masalah atau topik yang akan dibahas
2.
Menghimpun hadis-hadis
yang berkaitan dengan masalah tersebut
3.
Menyusun
runtutan hadis sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang
asbabul wurudnya.
4.
Memahami korelasi
hadis-hadis tersebut dalam babnya masing-masing
5.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna
6.
melengkapi
pembahasan dengan ayat-ayat yang relevan dengan topic tersebut
7.
Mempelajari
hadis-hadis tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun hadis-hadis
yang mempunyai makna yang sama atau mengkompromikan anatara yang amm
(umum) dan yang khas (khusus), Muthlaq yang Muqayyad (terikat) atau yang
pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara
perbedaan atau pemaksaan.[29]
Tokoh-tokoh
hadits pada masa kontemporer antara lain :
1. Imam Az-Zahabi, as-Suyuti (w 911 H)
2. Ibnu Taimiyah (611-728 H =
1263-1328 M)
3. Ibnu Hajar al-Asqalani (773-853 H)
4. Imam Muhammad Abu Zahrah (w 1394 H)
5. Syekh Mansur Ali Nasif, Syekh Ismail bin Muhammad bin Abdul
Hadi Al-Ajluni al-jarahi (w 1162 H =
1749 M)
6. Muhammad bin Asy-Syaukani (w 1250 H = 1834 M)[30]
Disamping itu tokoh hadits kontemporer yang
paling terkenal sekarang ini adalah Yusuf Qardhawi yang lahir di Mesir (9
September 1926) dan Muhammad al-Ghazali lahir di Mesir Tahun 1917 dan wafat
1996.[31]
Disamping itu masa kontemporer juga dikenal
dengan masa pembahasan hadis yang dikaitkan dengan perkembangan pengetahuan
modern sebagai akibat dari persentuhan dantara dunia Islam dengan Barat,
diantara ulama yang tergolong dalam periode ini al-Qasimi, Mahmud al-Thahan,
Abu Syuhbah, Shubhi al-Shalih, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, M.Azami, Mustafa
al-Sibai, Nur al-Din ‘Itr, A.Hasan, T.M Hasbi Ash-Shiddiqie, dan Muhammad
Syuhudi Ismail.[32]
|
KESIMPULAN
Periode lahirnya hadis dimana Rasulullah
memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal dan menyampaikan
hadis-hadisnya dan melarang untuk ditulis karena ditakutkan para sahabat
mencampur adukkan antara hadis dan al-qur’an kemudian keluar perintah untuk
menulis untuk sahabat-sahabat tertentu.
Penulisan
hadis sebenarnya telah ada pada masa rasulullah namun hanya sebatas
catatan-catan para sahabat terdekat dan orang-orang yang dinaggap cakap dan
mampu dalam membedakan hadis dan al-qur’an itu sendiri, hadis secara resmi
mulai diperintahkan untuk ditulis yakni pada masa pemerintahan bani Umayah pada
khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian dilanjutkan dengan pembukuan hadis
meskipun masih sebatas pengumpulan dari para hapalan-hapalan sahabat yang
kemudian dikumpul dan dijadikan sebuah kitab hadis, karena kekhawatiran atas banyaknya
para sahabat penghafal hadis yang meninggal.
Masa
pentashihan atau penyaringan hadits dimulai ketika pemerintahan dipegang oleh
dinasti bani Abbas, khususnya sejak masa al-Makmum sampai dengan al-Muktadir
(sekitar tahun 201–300 H), kemudian dilanjutkan ke masa Pengkajian hadits para
ulama hadits mengalihkan perhatiannya
untuk menyusun kitab-kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Terakhir
masa kontemporer adalah zaman mutaakhkhirin, yaitu era tahun-tahun terakhir
yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
|
|
Aisyah, Siti, Kontribusi Imam Al-Bukhari dalam Validitas Hadis,
Makassar: Alauddin Press, 2011
Amin, Muhammadiyah,
Ilmu Hadis, cet.II; Gorontalo: Sultan Amai Press. 2011
Al-Khatib, M. Ajaj, As-Sunnah Qablat-Tadwin, terj. AH. Akrom
Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan . Cet.I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1999
Al-Maliki, Muhammad Alawi, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli
Al-Hadisi Al-Syarifi, Terj. Adnan Qohar, Ilmu Hadis.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012
Al shalih ,
Subhi, Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu,
Cet. IX; Bairut:
Dar-Al-Ulum al-Malayin, 1977
Al-Qatthan Manna, Mabahits fi Ulumil Al-Hadits, terj. Mifdhal Abdurrahman,
Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Bakhtiar, Amsal,
Filsafat Ilmu, Jakarta; Raja Grapindo
Persada, 2007
Bustamin, M. Isa, H .A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2004
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Suplemen Ensiklopedi
Islam, Cet. IV: Jakarta; Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997
Ismail, M.
Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1994
‘Itr, Nuruddin. Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadis, terj.
Mujiyo, Ulumul Hadis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012
Mudatstdir, ilmu
hadis, Cet.I; bandung: Pustaka Setia, 1999
Muhaimin, dkk., Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2005
|
[1] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h.24
[2] Muhammadiyah
Amin, Ilmu Hadis (Cet.II; Gorontalo: Sultan Amai Press. 2011), h. 30
[3] Siti Aisyah, Kontribusi
Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis (Makassar: Alauddin Press, 2011), h.
20
[4] M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), h.76
[5] Muhammad Alawi
Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj.
Adnan Qohar, Ilmu Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.20
[6] M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1994), h.77
[7] Nuruddin ‘Itr.
Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadis, terj. Mujiyo, Ulumul Hadis
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 29
[8] M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.78
[9] M. Ajaj
al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, terj. AH. Akrom Fahmi, Hadits
Nabi Sebelum Dibukukan (Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.346
[10] M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.79
[11] Siti Aisyah, Kontribusi
Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis, h.28
[12] M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, h.101
[13] Siti Aisyah, Kontribusi
Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis, h.34
[14] Muhammad Alawi
Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj.
Adnan Qohar, Ilmu Hadis, h.20
[15] Muhammad Alawi
Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu Fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj.
Adnan Qohar, Ilmu Hadis, h. 21
[18] Siti Aisyah. Kontribusi
Imam Al-Bukhari dalam Validitas Hadis, h.38
[19] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 75-79
[20]
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 80-83
[23] Muhammadiyah
Amin, Ilmu Hadis,. h.58
[24] Muhammadiyah
Amin. Ilmu Hadis. h. 58
[25] Muhammadiyah
Amin. Ilmu Hadis. h. 59
[32]
Siti Aisyah. Kontribusi
Imam Al-Bukhari dalam Validitas hadis, h.42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar