Minggu, 10 April 2016

USMAN BIN AFFAN & ALI BIN ABI TALIB Nepotisme & Majelis Tahkim



USMAN BIN AFFAN & ALI BIN ABI TALIB
Nepotisme & Majelis Tahkim



UIN
 











MAKALAH
Dipresentasikan Dalam Seminar Matakuliah Sejarah Peradaban Islam
Semester I Kelompok I Tahun Akademik 2015/2016
Sabtu, 18 April 2015

Oleh

Ahmad Ari Suhud
80200214025

Dosen Pemandu:


Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA.
Dr.Hasaruddin, S.Ag,.M.Ag.





PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2015





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah kehidupan rasulullah Muhammad saw dalam memulai dan mensyiarkan islam yang mengalami banyak rintangan dan perjuangan yang begitu berat ternyata mendapatkan hasil yang menggembirakan dikala Islam pada saat itu sudah mampu menguasai dua kota Besar yakni Madinah dan mekah, lebih dari itu islam pada saat itu sudah memiliki penganut yang begitu banyak, berkembang begitu pesat dikalangan masayarakan Arab buah usaha nabi Muhammad beserta para sahabat-sahabatnya sampai mampu mengeuasai beberapa wilayah di jazirah Arab. Setelah Rasulullah saw wafat di Madinah tahun 632 M persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam bukanlah persoalan akidah tetapi lebih kepada persoalan politik, khususnya persoalan khilafah atau imamah (Kepemimpinan Negara).
Yang membuat persoalan ini semakin menjadi rumit adalah karena Rasulullah wafat tanpa meninggalkan wasiat bahwa siapakah yang dapat menggantikan posisinya setelah dia wafat, akhirnya umat Islam pada saat itu yang masih berusia belia dilnda keguncangan yang begitu mendalam, betapa tidak tempat untuk bertanya untuk semua persoalan agama sudah tiada dan pemimpin umat yang menjadi panutan para Umat Islam sudah tidak ada lagi, sehingga kekosongan ini membuat kaum muslim pada saat itu yang terdiri dari berbagai suku mulai resah dan melakukan perundingan perundingan perihal siapa yang aka menjadi pengganti Rasulullah.
Pembaiatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama bukan atas penunjukan atau keturunan Nabi Muhammad saw, namun nabi sendiri sepertinya telah memberikan sinyal bahawa Abu bakarlah orang yang akan melanjutkan kepemimpinan karena suatu ketika nabi tidak bisa memimpin jamaah untuk melaksanakan shalat maka nabi mendelagasikan Abu Bakar sebagai imam pada saat itu. Abu Bakar ditetapkan atas dasar permufakatan para pemuka Ansar dan Muhajirin dalam rapat di Saqifah Bani Sa’idah di Madinah.  Penetapan itu kemudian mendapat persetujuan dan pengakuan ummat dengan adanya baiat dari para sahabat.
Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua atas dasar pencalonan rekomendaasi Abu Bakar yang segera pula mendapat persetujuan ummat. Penentuan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga dirundingkan dalam rapat enam sahabat (Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, ‘Ali bin Abi Talib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Talha dan Zubair). Usman juga segera mendapat bai’at dari ummat.
Setelah Usman meninggal dunia terbunuh, maka ‘Ali yang menggantikannya menjadi khalifah keempat. Namun bai’at yang  diterima ‘Ali tidak sebulat bai’at yang diberikan ummat kepada khalifah-khalifah sebelumnya. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan, Sejarah membuktikan bahwa ‘Ali bin Abi Talib pada masa pemerintahannya, menghadapi dua tantangan dari pihak oposisi yaitu pertama, koalisi Aisyah, Talha dan Zubair serta kedua, gubernur Damaskus, Mu’awiyah dan kerabat-kerabat Usman.
Inilah sekelumit sejarah kekhalifaan yang akan menjadi titik berat pemakalah adalah kekhalifaan Usman bin Affan dan Ali Bin abi Thalib dimana akan lebih memfokuskan pada beebrapa hal penting dalam pada pemerintahan kedua khalifah ini.
B.     Rumusan Masalah
Penjelasan latar belakang di datas penelusi akan menarik ebebrapa rumusan masalah diantaranya:
1.      Bagaimana proses pembaitan khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib?
2.      Bagaimana Proses Pemerintahan Kalifah Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Talib?
3.      Apa yang menjadi tantangan yang dihadapi pada masa khalifa Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Talib?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Usman Bin   Affan
1. Biografi singkat Usman Bin Affan
 Nama lengkap Usman bin Affan adalah Usman bin Affan bin Abi al-‘Ash bin Umayyah bin Abd al-Syams bin Abd Al-Manaf Al-Quraisyiy Al-Umawiy nasabnya dari keturunan Umayyah salah satu pembesar Quraish . Bapaknya bernama Affan dan  ibunya bernama Arwa binti Kuriz bin rabi’ah habib bin abd al syam bin al manaf. ia dilahirkan di kota Mekah pada tahun keenam dari tahun gajah atau pada tahun 576 M. Ia lebih muda dari Nabi enam tahun. Di masa anak-anak dan masa remajanya, ia hidup boros, seperti orang-orang Quraish umumnya, terutama Bani Umayyah.[1]
Berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, wajahnya tampan, berkulit cerah dengan warna sawo matang dan terdapat sedikit bekas cacar, janggutnya lebat dengan tulang-tulang persendian yang besar dan kedua bahunya yang bidang, giginya dilapisi emas dan cincin di jari kirinya. Ia selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus dan baju bermutu tinggi, karena dia memang orang kaya dan hidupnya serba nyaman. Utsman dikenal sebagai seorang pedagang yang dermawan dan murah hati.
Dia salah seorang yang paling kaya di masa sebelum Islam dan setelah Islam. Dia memiliki sifat dan perangai yang sangat pemalu. Sebelum Agama Islam datang dan sesudahnya dia merupakan saudagar besar dan kaya serta sangat pemurah. Nabi sangat mengaguminya karena kesederhanaan, kesalehan, dan kedermawanannya. Dia termasuk Sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Rasulullah akan masuk surga. Dalam satu riwayat bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Tiap-tiap Nabi punya teman, temanku di surga adalah Utsman bin Affan.”[2]
Oleh karena pertalian Utsman bin Affan sangat akrab dengan Rasulullah, maka Rasulullah menikahkan dengan putrinya bernama Rugaiyah, setelah Rugaiyah meninggal dunia di waktu perang Badr, maka Nabi menikahkan dengan putrinya yang kedua yaitu Ummu Kalsum. Oleh karena itu Utsman bin Affan dikenal dengan julukan “Zun Nurain” (yang mempunyai dua cahaya).[3]
2.      Proses Pembaiatan Usman bin Affan
Setelah penikaman yang dalami oleh khalifah umar bin khattab, sebagian besar kalangan sahabat pada saat itu menginstruksikan agar umar menunjuk langusng suksesi kepemimpinan setelahnya, namun umar tidak melakukan itu dengan pertimbangan kondisi umat pada sat itu tidak sama dengan kondisi ketika uamr menunjuk dirinya karena pada saat pemerintahan umar kondisi masyarakat islam pada saat itu sudah stabil dan tentara islam sudah memperoleh kemenangan. Tapi karena desakan yang dilakukan oleh para sahabat yang begitu khawatir akan terjadinya perpecahan maka umar pada saat itu tidak menunjuk langsung penggantinya namun hanya menunjuk suatu formatur.
Formatur ini terdiri dari 6 orang, mereka adalah sahabat-sahabat utama Rasulullah yang telah diberi kabar gembira dengan jaminan masuk syurga. Sahabat-sahabat itu adalah: usman bi affan, ali bin abi talib, thalha bin ubaidah, zubair bin awwam, saad bin abi waqqas, dan Abdurrahman bin auf. Umat mengharapkan keenam sahabat itulah yag berunding untuk memilih salah saeorang dianataranya sebagai khalifah, pengangti dirinya.
Namun ketika dewan formatur belum dapat menentukan khalifah sebelum meninggalnya umar maka umar pun mendelegasikan anaknya abd Allah sebagai penasehat luar, setelah dewan berkumpul tiga hari setelah meninggalnya umar mereka bermusyawarah dan menungjuk Abdurrahman bin auf sebagai ketua. Tiga hari lamanya permusyawatan ini berlangsung tetapi belum juga ada keputusan. Oleh karenanya badurrahman berkata: siapakah yang sudi menarik diri dan menyerahkan pekerjaan ini kepada yang lebih ahli?” tidak ada seorangpun yang menjawab” sehingga Abdurrahman melanjutkan perkataannya “kalau demikian disini saya nyatakan terus terang bahwa saya sendiri tidak berminat dicalonkan untuk pekerjaan ini” usman kemudian menjawab sayalah yang mula mula ridho memangkunya” kemudian yang lainoun berkata kami juga ridho memangkunya” hanya seorang yang diam yaitu Ali kemudian Abdurrahman bertanya kepada Ali “ bagaimana pendapatmu wahai Abu hasan (Ali)’ kemudian dia menjawab “ berilah saya janji yang teguh bahwa kamu semuanya lebih mementingkan kebenaran dan bukan mengikuti hawa nafsu , bukan pula mementingkan orang karena kerabat, dan janganlah dipermain-mainkan orang banyak”. Setlah itu Abd Rauf menskor pertemuan dan melakukan beberapa pertemuan dengan para tokoh masyarakat pada saat itu dan begitupun dengan Ali dan usman.
Kemudian piliha mengerucut pada dua orang saja yakni Usman bin Affan dan ali bin Abi talib maka Abdurrahman bin Auf mengajukan 3 syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon tersebut: pertama harus tunduk kepada Allah swt dan Rasulnya kedua harus mengikuti teladan kedua khalifah sebelumnya yakni Abu baka dan Umar bin Khattab ketiga tidak boleh lebih mendahulukan kepetingan keluar sendiri daripada masyarakat.[4]
Selanjutnya disuatu subuh, empat hari setelah Umar bin khattab wafat masalah suksesi in dibawah ke depan umum, akibatnya, terjadilah perdebatan antara pihak –pihak yang menjagokan Ali bin Abi thalib dan usman Bin affan para pendukung saling mempengaruhi massa untuk memilih jagoan masing-masing, melihat situasi yang semakin mengarah kepada perpecahan umat sain bin abi waqqas menyatakan amandemen kepada Abdurrahman bin asuf agar segera bertindak meyelesaikan masalah.
Abudurrahman selanjutnya memanggil Ali bin Abi thalib untuk tampil kedepan umum seraya bertanya “ jika engkau terpilih mejadi khalifah apaha engkau akan tetap berpegang kepada kitab Allah dan sunnah rasulullah serta tradisi dua orang khalifah sebelu,nya? “ Ali bin Abi talib menjawab “saya berharap demikian dan akan bertindak sesuai dengan ilmu dan kemampuan saya” setelah mengulangi pertanyaan ini sebanyak tiga kali Ali menjawab “ Aku akan memperlakukan kamu sesuai dengan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah tanpa meneladani siapapun”. Karena curiga dibalik  motif penekanan abd rahman atas jawaban kategoris terhadap tuntutannya, Ali berakta sambil menuduh,” kamu tidak berhak menghalangi dalam merebut hak saya terhadap jabatan ini”[5].
Selanjutnya Abd rahman bin Auf memanggil Usman bin affan tampil kedepan dan mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang diajukan kepada Ali bin Abi Talib. Dengan tegas Usman bin Affan menjawab : “ya saya akan melakukannya!” seketika itu juga Abd rahman bin Auf menengadahkan tangannya sambil berdoa, Ya Allah, dengar dan saksikanlah, beban beratku telah aku pindahkan kepada Usman bin Affan. Iapun menyalami Usman bin Affan sebagai tanda baiat kepadanya.
Tangan kanan yang pertama menjabat tangan kanan Usman untuk membai’at adalah tangan Ali bin Abi Thalib,  baru kemudian diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Demikianlah Usman memikul beban-beban khalifah yang dipikulnya ketika ia hampir mencapai usia 70 tahun.[6]
3.      Proses pemerintahan dan Masalah-masalah yang dihadapi Usman bin Affan
Setelah Usman bin Affan resmi terangkat jadi Khalifah, maka ada beberapa hal yang dilakukan yang tercatat dalam sejarah yang menjadi prestasi dalam masa pemerintahannya antara lain, yaitu:
a.      Penumpasan pembangkan dan perluasan wilayah
Pendaratan Romawi di Iskandariah itu jatuh pada bulan-bulan pertama tahun 25 H (664 M), yakni selang setahun dan beberapa bulan sesudah pelantikan Usman. Hampir semua sumber sepakat tentang tahun ini. Kesepakatan ini menunjukkan bahwa terbunuhnya Umar telah membuat kota Konstantinopel berani cepat-cepat menyambut permintaan penduduk Romawi di Iskandariah itu, dengan perkiraan bahwa dengan kematian Umar, kaum muslimin sudah kehilangan sang guru dan menamatkan era pembebasan yang pada masanya telah membuat Romawi dan Persia mati akal.[7]
Rupanya pihak Arab dalam menghadapi situasi ini serba bingung dan tidak menentu. Mereka meminta pendapat dan bantuan Amirul mukminin di Madinah. Para pemuka di Madinah sependapat, begitu juga kaum muslimin di Mesir, bahwa orang yang akan menghadapi situasi yang begitu penting itu hanya Amr bin Ash. Namanya saja sudah dapat menggetarkan hati pihak Romawi. Kebijakannya memang sudah mendapat tempat dalam hati rakyat Mesir dan mendapat dukungan.
Pasukan Romawi sedang menjelajah seluruh Mesir Hilir tanpa menemui perlawanan. Kendati begitu mereka tidak membiarkan orang-orang Mesir hidup damai. Kebalikannya, segala yang ada pada mereka dirampas paksa dan mereka diperlakukan dengan penghinaan yang sangat keji. Dalam pada itu Amr bin Ash sedang mengatur pasukan dan persiapan perangnya di Babilon. Setelah diketahui bahwa pasukan Romawi sudah mendekati Naqyus ia keluar dan sudah siap hendak menghadang mereka. Ia memimpin pasukan 15.000 orang dengan kepercayaan bahwa jika mereka tak dapat mengalahkan pasukan Romawi mereka akan terpukul mundur kembali ke Semenanjung Arab dengan membawa malu yang tercoreng di kening karena lari.
Tercatat dalam sejarah bahwa Amr bin Ash menang dan mampu membebaskan Mesir, dengan begitu Amr telah membebaskan kembali Iskandariah, dan selesailah sudah pengusiran pasukan Romawi dari mesir untuk kedua kalinya. Antara kedatangan mereka ke Iskandariah sampai kaburnya mereka dari kota itu, sekali ini hanya selang beberapa bulan. Dalam waktu yang begitu singkat Amr telah mampu mencapai tujuannya. Dengan kembalinya muslimin dan pemerintahannya itu, sekali lagi rakyat Mesir merasa lega. Sekarang mereka merasa senang  dan tentram sekali setelah sebelum itu mereka melihat pihak Romawi menjarah harta mereka. Sebaliknya sekarang, yang mereka lihat justru pasukan Muslimin mengembalikan harta mereka yang dirampas itu kepada mereka, setelah berhasil merampas kembali harta itu dari pasukan Romawi.[8]
Daerah front Timur, ustman dapat kembali menguasai wilayah Kabul, Gaznah, balk, dan Turkistan bagian timur, selanjutnya sebagian wilayah Hurasan seperti Naisabur, Tus dan Marw, didaerah Utara Muawiyah bin Abi sufyan, gubernur Syria menaklukkan Asia kecil sampai emmrebut pualu Cyprus. Wilayah front Barat Abdullah bin Sa’ad, gubernur mesir menerobos ke Tripoli dan menaklukkan sebahagian Afrika utara kota cartago terpaksa membayar upeti kepada khalifah umat islam di Madinah[9].
Sebagai catatan bahwa perluasan wilayah pemerintahan Islam bukan atas dasar menganiaya, merampas, memperbudak tetapi karena rasa kemanusian yang ingin membebaskan rakyat dari segala bentuk kezhaliman.
b.      Masalah yang dihadapi pemerintahan Usman bin Affan
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman bin Affan menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya untuk menduduki jabatan yang strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif Nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai alasan motif Nepotisme tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagai Gubernur Syam, dia termasuk Sahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.[10]
2.      Pimpinan Basyrah, Abu Musa al-Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir (sepupu Utsman).
3.      Pimpinan Kufah, Sa’ad bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid bin ‘Uqbah (saudara tiri Utsman). Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id bin ‘Ash (saudara sepupu Utsman).
4.      Pimpinan Mesir, Amr bin ‘Ash diganti dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat (dalam sumber lain saudara sesusuan atau bahkan saudara sepupu Utsman).
5.      Sekretaris Negara, Marwan bin Hakam (sepupu sekaligus ipar Utsman).
6.      Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotism dalam kasus pemberian dana al-Khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, Marwan bin al-Hakam, dan al-Harits bin al-Hakam.
Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Usman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman bahwa jauh sekali dari motif Nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Usman mengangkat wali-wali Negara dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya. Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Usman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah di masing-masing wilayah tersebut.
Dalam manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apapun.
Selain persoalan diatas masalah social ekonomi juga menjadi hal yang menjadi hambatan bagi pemerintahan Usman bin Affan karena pada saat terajdi ekpansi besar besaran dan berhasil menaklukkan beberapa wilayah subur karena merubah kebiajakn ayng dienrikan oleh khalifah sebelumnya yaitu umar bin khattab  yakni yang dulunya tidak dibiarkan kepada pihak luar untuk menguasai wilayah khafah, basrah dan Mesir. Usman membuat kebijakn memberikan peluang kepada orang-orang dari luar sehingga terajdi gelombang perpindahan penduduk dari Jazirah Arab ke Irak dan Mesir. [11]
c.       Penyeragaman Mushaf Al-qur’an
Mushaf yang telah dikompilasi pada zaman Abu Bakar r.a., setelah wafatnya, berpindah kepada Umar bin al Khattab r.a., lalu berpindah lagi ke tangan putrinya, Hafshah. Kemudian, khalifah Usman meminta mushaf tersebut hingga dilakukan penyalinannya setelah di beberapa wilayah taklukan tampak terjadi perbedaan dalam membaca teks ayat-ayat al Qur’an.
Usman menugaskan empat orang sahabat besar untuk mengedit teksnya. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Sabit bin al-Ash, Abdullah bin as-Zubair, dan Abdullah bin al-Harits bin Hisyam. Setelah dilakukan penyalinan mushaf dengan dialek Quraisy, ia mengembalikan naskah aslinya kepada Hafshah, lalu naskah salinan dikirimkan ke beberapa wilayah yang telah dikuasai Islam. Selanjutnya, penyalinannya kembali dan pendistribusiannya  dilakukan oleh para fukaha dan para ulama.
Adapun, naskah-naskah yang ada sebelumya, yang didalamnya terdapat perbedaan, Usman memerintahkan agar dibakar. Dengan demikian, mushaf yang telah disalin itu dinamakan Mushaf Utsmani, dinisbahkan kepada Usman bin Affan, sebagai penghormatan atas karya besarnya.[12].
d.      Sebab-sebab pemberontakan
Sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman dapat diteliti dari beberapa segi. Pertama, bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah kelompok yang memeluk Islam tidak dengan sepenuh kesadaran tetapi melainkan untuk kepentingan tertentu seperti Abudullah ibn Saba’, orang Yaman yang semula pemeluk agama Yahudi. Mereka ini menyebarkan hasutan terhadap Usman. Keberhasilan propaganda jahat Abdullah ibn Saba’ membuat jumlah kekuatan pemberontak bertambah banyak. 
Kedua, persaingan dan permusuhan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayyah turut memperlemah kekuatan Usman. Sebelum Nabi Muhammad lahir telah berlangsung persaingan kedua keturunan yang masih bersaudari ini. Pada masa pemerintahan Usman benih kebencian ini tumbuh kembali.
Ketiga, lemahnya karakter kepemimpinan Usman turut pula menyokongnya, khususnya dalam menghadapi gejolak pemberontakan. Bahwa Usman adalah pribadi yang yang sederhana dan sikap lemah lembut sangat tidak sesuai dalam urusan politik dan pemerinthan, lebih-lebih lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang demikian dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti ini tidak dimiliki oleh Usman. Pada beberapa kasus ia terlalu mudah untuk memaafkan orang lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan. Sikap lemah-lembut ini mendorong pihak-pihak yang bermaksud jahat melancarkan maksudnya, dan juga mudah dipengaruhi oleh kelaurga terdekatnya.
4.      Terbunuhnya Usman bin Affan
Usman bin Affan meninggal karena terbunuh pada 18 Zulhijjah 35 H/656 M dalam usia 82 tahun dan memerintah selama 12 tahun lamanya, pembunuhan ini dilakukan oleh para pemberontak yang berdatangan dari Mesir, Basrah dan Kufah. Peristiwa ini merupakan akibat dari ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan yang dijalankan Usman selama ini. Diantaranya banyaknya campur tangan pihak keluarga dekat Usman bin Affan disemua sektor pemerintahan baik itu dibidang politik ekonomi maupun yang lainnya.
Sehingga membuat kebijakan-kebijakan yang dihasilkan sudah tidak pro rakyat diantanya banyaknya gubernur yang diganti dengan gubernur baru yang berasal dari kelaurga dekat Usman bin Affan sendiri namun diantara gubernur-gubernur yang dipilih ada dari mereka memiliki sifat-sifat yang tidak baik dan bertindak sewenag-wenang. Sehingga membuat kemarahan masyarakat semakin memuncak. Beberapa sahabat sendiri sudah mengingatkan seperti Ali bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, namun karean pengaruh keluarganya sudah mendalam maka usaha mereka sia-sia.
Dalam situasi yang seperti ini maka pemberontakanpun bergejolak sampai membuat serombongan rakyat Mesir ingin mempertanyakan kebijakan Khalifah Usman mendengar kabar keberangkatan dari mesir para penduduk Basra dan Kufah segera melakuan hal yang sama mereka bermaksud mendukung rakyat Mesir dalam perubahan kebijakan politik gubernur Mesir, namun para pemberontak ini kemudian ditemui oleh para sahabat utama seperti Ali bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah untuk membela khalifah Usman bin Affan dan para pemberontakpun akhirnya menerima klarifikasi dari para shabat kembali dan akhirnya pulang kembali kedaerah asal masing-masing.
Namun pada saat diperjalanan pulang para pemberontak menangkap seorang kurir yang membawa surat untuk gubernur mesir yang isinya adalah perintah untuk membunuh para pemberontak terhadap pemerintahan khalifah usman, akhirnya mereka mengurunkan niatnya untuk kembali dan memutar arah untuk menuju Madinah menemui khlifah dan meminta pertanggung jawaban atas surat yang mereka temukan. Namun samapai bebrapa hari mereka mengepung rumah khalifah usman dan meminta agar menyerahkan dalang dari pembuat surat tersebut namun samapi waktu yang ditentukan tak ada kejelasanyang didapatkan sehingga akhirnay para pemberontak menyerang rumah khalifah Usman di waktu subuh.
Ketika penyerangan dilakuakn Usman bin Affan sedang membaca Al-Qur’an setelah menunaikan shalat subuh. Kaum pemberontak akhirnya membunuh khalifah Usman diantara pemberontak itu ada Muhammad bin Abu Bakar namun iya sendiri tidak sempat bebuat aniayah karena mendengar perkataan khalifah usman binAffan kemduian dia menjadi lemas dan meninggalkan Usman bin Affan. Ketika Sudan bin Amran hendak menebaskan pedangnya keleher khalifah usman maka Nailt Istrin Usman bin Affan menangkis dnegan tangannya sehingga jari-jarinya itu terputus, namun para pemberontak semakin brutal dan akhirnya membunuh khalifah Usman bin Affan. [13]
B.     Ali Bin Abi Thalib
1.   Biografi Singkat Ali bin Abi Talib
Ali bin Abi Talib dilahirkan di Mekah, tepatnya di Ka’bah, Masjid al-Haram, di kota kelahiran Bani Hasyim, pada tanggal 13 Rajab (sekitar 600 Masehi). Nama ayahnya; Abu Talib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abu Manaf. Ibunya; Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abu Manaf. Perkawinan keduanya merupakan pertama kali terjadi antara sesama keluarga Hasyim[14].
Di terkadang dipanggil Ali bin Abi Talib adalah Abu al-Hasan, Abu al-Sibtain, dan Abu Turab (nama yang dipanggilkan oleh Rasulullah). Dia masuk Islam ketika berumur 10 tahun, ia menerima Islam tanpa ragu sedikit pun. Begitu juga tanpa berunding dengan siapa pun, sekalipun ke ayahnya,  Abu Talib. Sebagaimana ucapannya:
“Allah menjadikan saya tanpa saya harus berunding dengan  Abu Talib. Apa gunanya saya berunding dengan dia untuk menyembah Allah”.
Termasuk orang yang pertama masuk Islam, yang juga dari Bani Hasyim dan dari kalangan anak mudah, yang ketika itu belum akil baliq. Sejak lahir, begitu membuka mata dia sudah bergaul dengan nabi Muhammad, yang diasuh oleh ayahnya, di rumah ayahnya. Sejak itu, hampir seluruh kegiatan, dia bersama Rasulullah saw. Pada tahun 2 H, Rasulullah menikahkan ‘Ali bin Abi Talib dengan anaknya Fatimah, yang kemudian dikarunia dua anak yaitu Hasan dan Husein.[15]
Watak kepribadian ‘Ali bin Abi Talib, banyak diceritakan oleh para penulis biografinya dalam buku-buku sejarah. Dalam buku-buku tersebut bahwa tenaga dia begitu kuat di atas tenaga orang rata-rata. Dia dapat membanting penunggang kuda berikut kudanya sekaligus, suaranya lantang bergetar dapat menggetarkan hati musuh. Salah satu peran penting dia yaitu ketika semua kaum Muslimin sudah pergi meninggalkan Mekkah. Dia berani tinggal seorang diri, dan bahkan menggantikan Nabi saw di tempat tidurnya. Padahal, malam itu Nabi saw sudah direncanakan akan dibunuh. Begitu pula peranannya dalam perang-perang  bersama Nabi dan sahabat-sahabat, seperti perang Badar. Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.[16]
Begitu juga peran serta dia dalam ekspedisi-ekspedisi kecil sampai perang besar. ‘‘Ali bin Abi Talib berkata:
“Maut yang paling mulia adalah mati dalam pertempuran”. Dia juga mengatakan: “mati dengan seribu tebasan pedan lebih baik dari pada mati di atas ranjang”.
 Dia juga mengatakan kepada sahabat-sahabatnya:
 “Jangan memulai mengajak berduel, tetapi jika ditantang jangan mundur”.
Pada perang Parit, ketika Amr bin Abd Wudd, pahlawan Quraisy yang terkenal pemberani itu menerjang dan menyerbu parit, dan menantang Muslimin, tak ada yang berani menyambut tantangannya selain ‘Ali bin Abi Talib. Ketika berduel satu lawan satu, ‘Ali berhasil memisahkan kepala si jago tersebut dari badannya dalam waktu tak seberapa lama.[17]
Sebagai pemudah, dia sangat pemberani. Kisah-kisah keberaniannya sudah sangat terkenal dalam sejarah. Di medan perang, dalam semua medan pertempuran ‘Ali selalu diserahi bendera Nabi, karena keberanian itu juga dia dikenal dengan julukan “asadullah”  (singa Allah).
Sungguh pun begitu (kuat dan pemberani), dia sangat lemah-lembut terhadap siapa pun, dan tekun menerima pelajaran Nabi, dia banyak senyum dengan tutur bahasa yang manis dan fasih. Dan bila terjadi perdebatan, dia selalu mengemukakan argumentasi yang kuat, sehingga membuat lawan bicaranya menyerah dengan rasa puas. Tetapi bila argument pihak lawan bicaranya dilihat cukup kuat dengan senang hati dia pun menerimanya.
Hidupnya sangat rendah hati, ia tidak pernah merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain. Akhlak ‘Ali, selain sudah menjadi bawaannya, juga tidak lepas dari didikan Nabi: yang memiliki sifat murah hati, lapang dada, tidak pendendam dan selalu memelihara silaturrahim. Ada dua sifat yang terkenal melekat pada dirinya,yaitu akhlak dan keberaniannya. Diantara kelebihan dia yaitu orang yang pernah bergaul dan hidup bersama dengan dia, tidak mudah akan berpisah begitu saja tanpa meninggalkan kesan dalam hatinya. Sebagaimana seorang budak kecil yang dia beli, dan budak itu tidak mau berpisah darinya, meskipun budak itu ditawari kedudukan sebagai raja.[18]
Ali mendapat tempat di hati ummat bukan saja karena kedekatannya dengan Nabi berupa hubungan darah dan hubungan keluarga, tetapi juga karena sifat-sifat pribadinya yang simpatik dan sangat khas. Dia terkenal sebagai orang yang zahid dan wara’, orang yang sarat dengan ilmu, tempat para sahabat terkemuka bertanya dalam masalah-masalah hukum agama yang susah, atau tentang makan sebuah ayat dalam al-Qur’an atau tafsirannya.[19]   
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, kemudian Umar dan Usman, dia diangkat menjadi penasehat khalifah. Dan juga diserahkan kepadanya kedudukan hakim tentang permasalahan hukum. Pengankatan itu tentu didasarkan kepada dalamnya ilmu yang dimiliki oleh Ali. Dengan demikian, Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakan pedang maupun dalam mengunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seorang orator (ahli pidato), dia merupakan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya menjadi buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya.

2.   Proses Pembaiatan Ali bin Abi Talib
Setelah pembunuhan Khalifah Usman, kebingungan dan kekacauan terjadi di Madinah selama lima hari. Pada waktu itu Abdullah bin Saba’, pemimpin partai Mesir, mengusulkan bahwa ‘Ali, sebagai pengganti Nabi yang sah, meneruskan kekhalifaan. Semua menyetujui. ‘Ali mula-mula tidak mau menerima kekhalifaan itu pada saat dan keadaan seperti itu. Akan tetapi, mengingat kepentingan-kepentingan Islam, akhirnya dia setuju untuk menerima tanggung jawab kekhalifaan. Oleh karean itu pada tanggal 23 Juni 656 M/ 5 Zulhijjah tahun 35 H,  hari keenam pasca terbunuhnya Usman, ‘Ali terpilih menjadi khalifah setelah dibai’at. Setiap orang memberikan sumpah setia kepadanya, dan dia dinyatakan sebagai khalifah Islam.[20]
Dalam keterangan yang lain bahwa dalam kondisi genting pasca terbunuhnya Usman, beberapa terindetifikasi sebagai pembunuh khalifah Usman. Dengan terjadinya pembunuhan tersebut, baik secara langsung atau tidak, hal itu menimbulkan isu bahwa dibalik pembunuhan itu ada campur tangan ‘Ali . Orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam tragedi pembunuhan khalifah, kebanyakan berasal dari Mesir. Dan memeng pada waktu itu kebanyakan pendukung ‘Ali berada di Mesir.[21]
Dalam keterangan yang lain  juga mempertegas bahwa pembai’atan tersebut  melibatkan beberapa golongan sahabat-sahabat diantaranya Thalha, Zubair Abdullah ibn Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas. Namun proses ini kemduain diprotes oleh putranya sendiri Al-Hasan karena mereka menganggap bahwa di tengah situasi yang penuh fitnah seperti saat itu, mestinya ali menolak ketika diabaiat sebagai khalifah, Ali sendiri telah menyadari konsekuensinya namun ia harus maju demi menyelamatkan umat Islam dari kehancuran yang lebih besar. [22]
3.   Pemerintahan dan hambatan yang dihadapi Ali bin Abi Talib
Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan pembai’atan.Setelah pelantikan selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi kepentingan umum, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah.”
“Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari  agama Islam.”[23]

Sejak hari pertama masa pemerintahannya khalifah Ali selau memperhatikan dan mencermati situasi rakyat pada saat itu, beliau terus berupaya untuk meneliti hal-hal yang meresahkan rakyatnya, membangun saluran air untuk mengaliri sumber-sumber pertanian, mengontrol para pelanggar aturan danmengawasi perekonomian dan membentuk dewan pengawas pasar, membangun penjara untuk menahan para penjahat, membentuk dewan keamanan, menindak semua pelanggar syariat termasuk persoalan khamar dan menguatkan akidah dengan ,menumpas para perilaku syirik.
Dalam situasi politk yang tidak mennentu ali berusaha menstabikannya sehingga tidak  melakukan ekspansi untuk perluasan wilayah Ali disibukakn denagn situasi social politik yang mendesaknya untuk menciptakan persatuan umat, demi mencapai tujuan tersebut Ali mengganti beberapa gubernur yang diangkat oleh khalifah usman.
Adapun hambatan yang paling nyata yang dihadapi oleh khalifah Ali bin abi thalib diantaranya:
a.       Pemberontakan yang dilakukan oleh Thalha, Zubair dan Aisyah
Ali dibai’at menjadi khalifah yang keempat, tidak lama kemudian, dia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka sahabat. Terutama Talha dan Zubair dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah ra. Koalisi ini beralasan bahwa ‘Ali  tidak tidak mau menghukum para pembunuh Usman.[24]

Talha dan Zubair mula-mula menerima Ali sebagai khalifah. Belakangan mereka tidak mengakuinya karena Ali tidak menyetujui tuntunan mereka bahwa dia harus segera menghukum para pembunuh khalifah Usman. Tuntunan mereka adalah tuntunan yang tidak mungkin. Tugas khalifah Ali yang harus segera dilaksanakannya ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukannya di dalam imperium yang dilanda kerusuhan dan kekacauan. Kedua, menghukum para pembunuh itu bukan tugas yang mudah. Khalifah Usman tidak dibunuh oleh beberapa orang sehingga dapat dengan mudah dipastikan dan dihukum. Banyak orang Mesir, Irak, dan Arabian yang secara langsung terlibat dengan pembunuhan itu. Karenanya, untuk menghukum para pembunuh pada waktu kacau dan sulit, tentu akan meruntuhkan khalifah dan kekhalifahan.[25] 
Sebelum terjadi peperangan, ‘Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang, dia mengirim surat  agar Talha dan Zubair keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak.[26]Akhirnya pertempuran tidak terhindarkan. Pertempuran itu disebut dengan perang Jamal. antangan dari koalisi tersebut berhasil dipatahkan ‘Ali bin Abi Talib dalam pertempuran jamal tersebut yang terjadi di Irak pada tahun 656 M.  Dalam peperangan tersebut, Talha dan Zubair mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[27]
b.      Tantangan dari Muawiyah
Ketua Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan, selaku gubernur Damaskus, mengharapkan kekhalifaan, dan memanfaatkan keadaan yang ditimbulkan oleh pembunuhan Usman itu untuk kepentingan sendiri. Setelah pembunuhan Usman, banyak bani Umayyah yang pergi ke Damaskus dan bergabung dengan Mu’awiyah sehingga pada waktu pembaiatan ‘Ali sebagai khalifah, Mu’awiyah telah memimpin perhimpunan keluarga-keluarga Umayyah yang berjumlah beribu-ribu. Hal ini sangat memperkuat kekuasaan ketua Umayyah dalam menentang khalifah ‘Ali.



Akhirnya Muawiyah yang cerdik itu memanfaatkan pembunuhan khalifah Usman untuk menjatuhkan nama khalifah Ali di mata ummat Islam. Dia membangkitkan kemarahan rakyat dengan memperlihatkan di dalam Mesjid Damaskus barang-barang peninggalan Khalifah Usman.[28] Sebagaimana halnya Talha dan Zubair, dia menuntut agar pembunuh Usman diadili.
Dalam keterangan yang lain bahwa penentangan Mu’awiyah disebabkan oleh kebijakan ‘Ali , yaitu setelah menjadi khalifah, dia memecat para gubernur yang korup  yang diangkat oleh Usman, termasuk salah satunya adalah Mu’awiyah, sekalipun dia diangkat pada masa Umar. Dalam hal ini, Ali juga memandang bahwa mereka gubernur itu tidak mampu meredah timbulnya pemberontakan di daerah masing-masing, begitu juga mereka tidak disenangi oleh rakyat. ‘Ali  juga menarik tanah yang oleh Usman dihadiakan kepada para pendukung dan hasil tanah tersebut diserahkan ke khas Negara, sekaligus ‘Ali  berusaha mengembalikan pemerintahan Islam seperti masa Umar.[29]     
Begitu juga dalam keterangan yang lain bahwa ada asumsi yaitu salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak yang berasal dari Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman bin ‘Affan, adalah Muhammad ibn Abi Bakr, yang merupakan anak angkat dari ‘Ali bin Abi Talib. Bahkan Muhammad ibn Abu Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.[30]
Dengan demikian, perihal sikap Ali  tersebut,  kiranya tidak menutup kemungkinan menimbulkan kecurigaan di kalangan keluarga terdekat Usman dan orang-orang yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, tuduhan itu tidak terbukti kebenarannya. Karena menurut kesaksian bibi Nailah selaku istri Usman, yang berada di dekat Usman ketika dia dibunuh bahwa bukanlah Muhammad bin Abu Bakr.[31]
Dengan bersikerasnya Mu’awiyah dan penolakannya terhadap ‘Ali sebagai khalifah dan menentang perintahnya untuk meletakkan jabatan. Khalifah Ali bergerak dari Kufa memimpin 50.000 tentara untuk menumpas pemberontakan Mu’awiyah yang maju dengan tentara yang besar untuk menghadapi tentara khalifah ‘Ali. Kedua pasukan itu berhadapan di medan Siffin. Khalifah ‘Ali mau menghindari pertumpahan darah ummat Islam dan mau menyelesaikan perselisihan itu dengan cara damai. Mu’awiyah tidak menyetujui perdamaian dengan syarat lain apa pun. Bahkan ‘Ali mengusulkan perang dengan duel satu lawan satu untuk memutuskan persoalan kekhalifaan itu. Akan tetapi Mu’awiyah agaknya lebih baik menghadapi seekor harimau yang ganas dari pada harus menghadapi Ali (singa Allah).
Karena usaha menyelesaikan secara damai menemui jalan buntu, pertempuran pun tidak terhindarkan.  Pertempuran itu yang dikenal dengan perang Siffin. Dalam peperangan tersebut, tentara ‘Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah, sehingga mereka bersedia untuk mengundurkan diri dan lari. Tetapi kemudian terbantu dengan munculnya pemikiran untuk melakukan Tahkim, ‘Amr ibn al-‘As selaku tangan kanan Mu’awiyah mengacung-acungkan al-Qur’an ke atas untuk berdamai. Awalnya Ali mengetahui Akal busuk Muawiyah dan Amar bin Ash hingga ia enggang menerima arbitrase tersebut, namun akhirnya Ali menerima karena desakan yang dilakukan oleh pasukannya, sebenarnya kemenagan sudah jelas berada dipihak Ali namun karena desak yang terus datang akhirnya Ali memerintahkan Al-Asytar untuk menghentikan peperangan dan menerima arbitrase.[32]
4.   Majelis Tahkim dan Lahirnya Khawarij
Setelah disepakatinya untuk dilakukan arbitrase maka baik itu kelompok Muawiyah atau kelompok dari Khalifah Ali menyepakati untuk mengangkat dua orang juru runding. Ali menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari sebagai delegasi dan Muawiyah menunjuk Amr bin al-Ash, pertemuan diadakan di Daumah al Jandal di Syam, pada bulan ramadhan tahun 37 H. masing masing kelompok membawa 400 pengikut, dan perundingan tersebut menyepakati bahwa kedua delegasi sepakat untuk menurunkan Ali dan Muawiyah dari kedudukan mereka. Masalah kekhalifaan kemudian diserahkan kepada kaum Muslimin untuk emilih oran gyang dikehendaki.
Setalah itu disepakati pula Abu Musa al-Asy’ari terlebih dahulu menyampaikan kesepakatan dan mengumumka kepada masyarakat bahwa hasil kesepakatan dari pertemuan ini adalah ditanggalkannya kekhalifaan Ali bin Abi Talib dan Muawiyah, dan selanjutnya masalah kekhalifaan akan diserahkan kepada para hadirin kaum Muslimin. Setelah itu giliran Amr bin Ash untuk menyemapaikan hasil kesepakatan bahwa karena kekhalifaan Ali sudah ditanggalkan maka saya tetapkan Muawiyah sebagai khalifah pengganti Usman bin Affan.

Pernyataan ini sontak membuat para pendukung Ali kemudian bergejolak dan bereaksi keras untuk menolak kesepakatan itu, dan kemudian pengikut Ali pada saat itu terpecah menjadi dua bagian dimana ada kelompok yang tetap setia kepada khlaifah Ali bin Abi Talib dan ada kelompok yang kelaur dari barisan Ali atau dikenal dengan istilah kaum Khawarij, khawarij menilai bahwa majelis tersebut telah membaut suatu keputusan yang bertentangan dengan ketentuan Allah, olehnya itu mereka dianggap bahwa para delegasi in telah kelaur dari jalan Allah.[33]
5.   Prose Pembunuhan Ali bin Abi Talib
Masa kekhalifahan Ali penuh dengan pergolakan, cita-cita Ali ingin mengadakan konsolidasi interen dalam pemerintahannya tidak tercapai. Kemungkinan hal ini terjadi karena Ali menjalankan pemerintahan dengan pendekatan revolusioner atau hanya menerima sisa-sisa kekecewaan akibat sistem pemerintahan yang dijalankan Usman bin Affan. Semakin terkotak-kotakny umat Islam pada saat itu membuat kekhalifaan Ali semakin sibuk mengurusi para pemberontak sehingga hampir dikatan bahwa kepemimpinan Ali hanya banyak mengeurusi persoalan intern Umat Islam itu sendiri.
Pada waktu Ali bersiap-siap hendak mengirim pasukan sekali lagi untuk memerangi Mu'awiyah, terbentuklah suatu komplotan untuk mengakhiri hidupnya. Kelompok itu terdiri dari tiga orang Khawarij yang bersepakat hendak membunuh Ali, Mu'awiyah serta Amr  bin Ash yang dilakukan pada malam yang sama. Barak ibnu Abdullah al-Tamimi menuju Syam untuk membunuh Amr bin Ash dan Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali yang sedang memanggil orang untuk shalat. Sedangkan Al Barak bin Abdillah At Tamimy menunggu Muawiyah selesai sholat subuh dan menikam Muawiyah, tetapi hanya terkena pinggul dan Al Barak mati terbunuh ditangan Muawiyah. Yang terakhir adalah Amr bin Bakri membunuh wakil yang dikira Amr bin Ash karena Amr bin Ash tidak berangkat mengimami Sholat lantaran sakit perut. [34]
           


















BAB III
KESIMPULAN

            Kepemimpinan khalifah Usman bin Afan yang membawa banyak keberhasilan mulai dari perlausan wilayah sampai penyeragaman al-qur’an, namun selain itu beberapa kebijakan kontroversialnya karena mengangkat kerabat dekatnya menjadi pejabat pemerintah dianggap perilaku nepotisme dan melanggar kebiasaan para pendahulunya yang sangat menghindari memberikan jabatan kepada kelaurga dekatnya.
            Inilah yang membuat gejolak dari intern kaum Islam itu sendiri karena kebijakan kebijakan politk yang diambilnya tidak memihak kepada rakyat sehingga terjadi pemberontakan yang berujung pada terbunuhnya khalifah usman ditangan pemberontak
            Sepeninggalan khalifah Usman maka umat Muslim kemudian mencari suksesi dari pemerintahan namun beberapa orang yang akan diserahi tugas itu kemudian menolak untuk memangkunya namun atas dasar kesepatakan antara kaum muhajirin dan anshar serta tokoh Islam pada masa itu untuk memilih Ali bin Abi Talib. Maka Ali sebagai orang yang diserahi tugas tak mampu menolak hal itu meskipun awalnya dia bersikeras untuk tidak menjabat jabatan kekhalifaan.
            Masa rumit pemerintahan Ali bin Abi Talib Karena harus menghadapi gejolak pemerintahan ditambah lagi keinginan beberapa golongan untuk mengadili para pemberontak yang membunuh usman, akhirnya membuat dilematis dan menciptakan babak baru pemberontakan yang dengan dalih ingin mencari keadilan dari terbunuhnya khalifah Usman, maka muncullah pemberontakan Talha, Zubair yang didukung oleh Aisyah meskipun akhinrya dapat dikalahkan, muncul pula pemberontakan yang dilakukan oleh bani Umayah dengan motif dan tujuan yang sama untk mencari keadilan dari pertistiwa terbununya Usman. Namun ini ditengah pertempuran yang seharusnya dimenangkan oleh khalifah Ali menaydari hal itu Umayah kemudian mengisyarakatkan untuk islah dengan jalan arbitrase atau lebih dikenal dengan majelsi tahkim
            Maka dari persoalan majelis tahkim kemudian yang menjadi landasan politik umayah untuk menjatuhkan kehkalifaan Ali bin Abi Talib dan dari ketidak puasaan hasil tahkim ini sehingga pendukung Ali tebaig menjadi 2 golongan ada yang tetap setiap terhadap Khalifah Ali dan ada yang keluar dan diberi naman dengan golongan kaum Khawarij.
































DAFTAR PUSTAKA


Al-‘Afifi, Abdul Halim. Mausu’ah Alf Huduts Islami diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan dengan judul 1000 Peristiwa  Dalam Islam, Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Al-Najjar, Abd al-Wahhab. Al-Khulafa’ al-Rasyidun . Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-‘Amaliyyah, 1987.

Al-Suyuti, Jalaluddin. Tarikh al-Khulafa’. Bairut: Dar al-Fikr, t.t    

Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. terj. Samson Rahman. Cet. I; Jakarta: Akbar. 2003

Audah, Ali. Ali bin Abi Talibi. Cet.IV; Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008.

Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islami, Juz. I. Cet. IX; Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Masriyyah.

Hasaruddin.  Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa pemerintahan Islam. Makassar ; Alauddin University Press: 2012

Haekal, Muhammad Husain, Usman bin Affan Cet. V; Bogor: Pustaka litera Antarnusa, 2007.

Jabbar, Umar Abdul, “Kholasotu Nuril Yaqin,  juz III,” Maktabah Al Hikmah,1985

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran  dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.

K. Kitti, Philip. History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present. terj. Dedi Slamet Riyadi, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Mahmudunnasir, Syed. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi. Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994

Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan dan Kebudayaan Arab. Cet. I; Jakarta: Logos, 1997

Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Cet. V; Jakarta : Universitas Indonesia, 1986.

Ridho, Muhammad. Al-Imam ‘Ali bin Abi Talib. Bairut: Dar al-Kutub al-Amaliyyah, t.th.

Syalabi, Ahmad, Sejarah kebudayaan Islam (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna, 2003

Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan. Makassar: Alauddin University Press, 2011

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XVI; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Yusuf, Abu. Kitab Al –kharaj. cet III. Cairo: Matba’at al-salafiyah, 1982

Majelis Penulis. Sejarah Pemerintahan Ali bin Abi Talib.http://majelispenulis .blogspot. com /2011/05 /sejarah-peradaban-islam-masa-ali-bin,html. Diakses 13 April 2015




[1] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan.(Makassar: Alauddin University Press, 2011) h.21
[2] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 165.
[3]Ahmad Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna, 2003), h. 229.
[4] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa pemerintahan Islam. (Makassar ; Alauddin University Press: 2012) h.134.
[5] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan. h. 134
[6] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan (Cet. V; Bogor: Pustaka litera Antarnusa, 2007), h. 244-245
[7] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan.  h. 69.
[8] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan.  h. 75
[9] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan. h. 127
[10] Di antara buku yang menyebutkan indikasi terjadinya nepotisme dalam pemerintahan Khalifah Utsman bisa dilihat pada Abu A’la Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Bandung: Mizan, 1984), h. 120-130. Juga Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: The MacMillan Press, 1974), h. 44.
[11]  Abu Yusuf. Kitab Al –kharaj (cet III. Cairo: Matba’at al-salafiyah, 1982) h. 35
[12] Abdul Halim al-‘Afifi, Mausu’ah Alf Huduts Islami.., h. 86-87. Lihat pula Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah Analisis…. h. 491
[13] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan. h. 150-151
[14] Jalaluddin al-Syuti, Tarikh al-Khulafa’, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 155.
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Juz. 1 (Cet. IX; Kairo: Maktabah al-Nahd}ah al-Masriyyah), h. 270.
[16] Ali Audah, Ali bin Abi Talib (Cet. IV; Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), h. 30-31.
[17] Ali Audah, Ali bin Abi Talib.  h. 33
[18] Ali Audah, Ali bin Abi Talib. h.29.
[19] Muhammad Ridho. Al-Imam ‘Ali bin Abi Talib., Bairut: Dar al-Kutub al-Amaliyyah, t.th h. 36
[20] Syed Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi (Cet.IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. h. 195.
[21]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran  dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 106
[22] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa pemerintahan Islam. h.157-158
[23] Majelis Penulis. Sejarah Pemerintahan Ali bin Abi Talib.http://majelispenulis .blogspot. com /2011/05 /sejarah-peradaban-  islam-masa-ali-bin,html. Diakses 13 April 2015
[24] Abd al-Wahhab al-Najjar. Al-Khulafa’ al-Rasyidin (Bairut: Dar al-Fikr, t.th)., h. 345.
[25] Syed Mahmudunnasir. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya., h. 196.
[26] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Cet. XVI; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 39. Lihat juga Syed Mahmudunnasir. h. 196.
[27]Harun Nasution. Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Cet. V; Jakarta : Universitas Indonesia, 1986., h. 4
[28] Abd al-Wahhab al-Najjar, Al-Khulafa’ al-Rasyidun . Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-‘Amaliyyah, 1987. h. 382.
[29] Ali Mufrodi. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. I; Jakarta: Logos, 1997. h. 64.
[30] Harun Nasution. Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. h.. 5.
[31] Ali Audah, Ali bin Abi Talib., h. 33.
[32] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa pemerintahan Islam. h.184
[33] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa pemerintahan Islam.h.2002-203
[34] Umar Abdul Jabbar, “Kholasotu Nuril Yaqin,  juz III,” Maktabah Al Hikmah,1985, hal. 47.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar