USMAN BIN AFFAN
& ALI BIN ABI TALIB
Nepotisme & Majelis Tahkim
![]() |
MAKALAH
Dipresentasikan Dalam Seminar
Matakuliah Sejarah Peradaban Islam
Semester I Kelompok I Tahun
Akademik 2015/2016
Sabtu, 18 April 2015
Oleh
Ahmad Ari Suhud
80200214025
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA.
Dr.Hasaruddin, S.Ag,.M.Ag.
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah kehidupan rasulullah Muhammad saw dalam memulai dan
mensyiarkan islam yang mengalami banyak rintangan dan perjuangan yang begitu
berat ternyata mendapatkan hasil yang menggembirakan dikala Islam pada saat itu
sudah mampu menguasai dua kota Besar yakni Madinah dan mekah, lebih dari itu
islam pada saat itu sudah memiliki penganut yang begitu banyak, berkembang
begitu pesat dikalangan masayarakan Arab buah usaha nabi Muhammad beserta para
sahabat-sahabatnya sampai mampu mengeuasai beberapa wilayah di jazirah Arab. Setelah
Rasulullah saw wafat di Madinah tahun 632 M persoalan yang pertama-tama muncul
dalam Islam bukanlah persoalan akidah tetapi lebih kepada persoalan politik,
khususnya persoalan khilafah atau imamah (Kepemimpinan Negara).
Yang membuat persoalan ini semakin menjadi rumit adalah karena
Rasulullah wafat tanpa meninggalkan wasiat bahwa siapakah yang dapat
menggantikan posisinya setelah dia wafat, akhirnya umat Islam pada saat itu
yang masih berusia belia dilnda keguncangan yang begitu mendalam, betapa tidak
tempat untuk bertanya untuk semua persoalan agama sudah tiada dan pemimpin umat
yang menjadi panutan para Umat Islam sudah tidak ada lagi, sehingga kekosongan
ini membuat kaum muslim pada saat itu yang terdiri dari berbagai suku mulai
resah dan melakukan perundingan perundingan perihal siapa yang aka menjadi
pengganti Rasulullah.
Pembaiatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama bukan atas penunjukan atau keturunan Nabi Muhammad saw,
namun nabi sendiri sepertinya telah memberikan sinyal bahawa Abu bakarlah orang
yang akan melanjutkan kepemimpinan karena suatu ketika nabi tidak bisa memimpin
jamaah untuk melaksanakan shalat maka nabi mendelagasikan Abu Bakar sebagai
imam pada saat itu. Abu Bakar ditetapkan atas dasar permufakatan para pemuka
Ansar dan Muhajirin dalam rapat di Saqifah Bani Sa’idah di Madinah. Penetapan itu kemudian mendapat persetujuan
dan pengakuan ummat dengan adanya baiat dari para sahabat.
Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua atas dasar pencalonan rekomendaasi Abu Bakar yang segera pula
mendapat persetujuan ummat. Penentuan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga dirundingkan dalam rapat enam
sahabat (Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, ‘Ali bin Abi Talib, Sa’ad bin
Abi Waqqas, Talha dan Zubair). Usman juga segera mendapat bai’at dari ummat.
Setelah Usman meninggal dunia terbunuh, maka ‘Ali yang menggantikannya
menjadi khalifah keempat. Namun bai’at yang diterima ‘Ali tidak sebulat bai’at yang
diberikan ummat kepada khalifah-khalifah sebelumnya. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan, Sejarah membuktikan bahwa
‘Ali bin Abi Talib pada masa pemerintahannya, menghadapi dua tantangan dari
pihak oposisi yaitu pertama, koalisi Aisyah, Talha dan Zubair serta kedua,
gubernur Damaskus, Mu’awiyah dan kerabat-kerabat Usman.
Inilah
sekelumit sejarah kekhalifaan yang akan menjadi titik berat pemakalah adalah
kekhalifaan Usman bin Affan dan Ali Bin abi Thalib dimana akan lebih
memfokuskan pada beebrapa hal penting dalam pada pemerintahan kedua khalifah
ini.
B.
Rumusan Masalah
Penjelasan
latar belakang di datas penelusi akan menarik ebebrapa rumusan masalah
diantaranya:
1.
Bagaimana
proses pembaitan khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib?
2.
Bagaimana
Proses Pemerintahan Kalifah Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Talib?
3.
Apa
yang menjadi tantangan yang dihadapi pada masa khalifa Usman Bin Affan dan Ali
Bin Abi Talib?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Usman Bin Affan
1. Biografi
singkat Usman Bin Affan
Nama lengkap Usman bin Affan
adalah Usman bin Affan bin Abi al-‘Ash bin Umayyah bin Abd al-Syams bin Abd
Al-Manaf Al-Quraisyiy Al-Umawiy nasabnya dari keturunan Umayyah salah satu
pembesar Quraish . Bapaknya bernama Affan dan
ibunya bernama Arwa binti Kuriz bin rabi’ah habib bin abd al syam bin al
manaf. ia dilahirkan di kota Mekah pada tahun keenam dari tahun gajah atau pada
tahun 576 M. Ia lebih muda dari Nabi enam tahun. Di masa anak-anak dan masa
remajanya, ia hidup boros, seperti orang-orang Quraish umumnya, terutama Bani
Umayyah.[1]
Berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, wajahnya
tampan, berkulit cerah dengan warna sawo matang dan terdapat sedikit bekas
cacar, janggutnya lebat dengan tulang-tulang persendian yang besar dan kedua
bahunya yang bidang, giginya dilapisi emas dan cincin di jari kirinya. Ia
selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus dan baju bermutu tinggi, karena dia
memang orang kaya dan hidupnya serba nyaman. Utsman dikenal sebagai seorang
pedagang yang dermawan dan murah hati.
Dia salah seorang yang paling kaya di masa sebelum Islam dan
setelah Islam. Dia memiliki sifat dan perangai yang sangat pemalu. Sebelum
Agama Islam datang dan sesudahnya dia merupakan saudagar besar dan kaya serta
sangat pemurah. Nabi sangat mengaguminya karena kesederhanaan, kesalehan, dan
kedermawanannya. Dia termasuk Sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh
Rasulullah akan masuk surga. Dalam satu riwayat bahwa Rasulullah pernah
bersabda: “Tiap-tiap Nabi punya teman,
temanku di surga adalah Utsman bin Affan.”[2]
Oleh karena pertalian Utsman bin Affan sangat akrab dengan
Rasulullah, maka Rasulullah menikahkan dengan putrinya bernama Rugaiyah,
setelah Rugaiyah meninggal dunia di waktu perang Badr, maka Nabi menikahkan
dengan putrinya yang kedua yaitu Ummu Kalsum. Oleh karena itu Utsman bin Affan
dikenal dengan julukan “Zun Nurain”
(yang mempunyai dua cahaya).[3]
2.
Proses Pembaiatan Usman bin Affan
Setelah penikaman yang dalami oleh khalifah umar bin khattab,
sebagian besar kalangan sahabat pada saat itu menginstruksikan agar umar
menunjuk langusng suksesi
kepemimpinan setelahnya, namun umar tidak melakukan itu dengan pertimbangan
kondisi umat pada sat itu tidak sama dengan kondisi ketika uamr menunjuk
dirinya karena pada saat pemerintahan umar kondisi masyarakat islam pada saat
itu sudah stabil dan tentara islam sudah memperoleh kemenangan. Tapi karena
desakan yang dilakukan oleh para sahabat yang begitu khawatir akan terjadinya
perpecahan maka umar pada saat itu tidak menunjuk langsung penggantinya namun
hanya menunjuk suatu formatur.
Formatur ini terdiri dari 6 orang, mereka adalah sahabat-sahabat
utama Rasulullah yang telah diberi kabar gembira dengan jaminan masuk syurga.
Sahabat-sahabat itu adalah: usman bi affan, ali bin abi talib, thalha bin
ubaidah, zubair bin awwam, saad bin abi waqqas, dan Abdurrahman bin auf. Umat
mengharapkan keenam sahabat itulah yag berunding untuk memilih salah saeorang
dianataranya sebagai khalifah, pengangti dirinya.
Namun ketika dewan formatur belum dapat menentukan khalifah sebelum
meninggalnya umar maka umar pun mendelegasikan anaknya abd Allah sebagai
penasehat luar, setelah dewan berkumpul tiga hari setelah meninggalnya umar
mereka bermusyawarah dan menungjuk Abdurrahman bin auf sebagai ketua. Tiga hari
lamanya permusyawatan ini berlangsung tetapi belum juga ada keputusan. Oleh
karenanya badurrahman berkata: siapakah yang sudi menarik diri dan menyerahkan
pekerjaan ini kepada yang lebih ahli?” tidak ada seorangpun yang menjawab”
sehingga Abdurrahman melanjutkan perkataannya “kalau demikian disini saya
nyatakan terus terang bahwa saya sendiri tidak berminat dicalonkan untuk
pekerjaan ini” usman kemudian menjawab sayalah yang mula mula ridho
memangkunya” kemudian yang lainoun berkata kami juga ridho memangkunya” hanya
seorang yang diam yaitu Ali kemudian Abdurrahman bertanya kepada Ali “
bagaimana pendapatmu wahai Abu hasan (Ali)’ kemudian dia menjawab “ berilah
saya janji yang teguh bahwa kamu semuanya lebih mementingkan kebenaran dan
bukan mengikuti hawa nafsu , bukan pula mementingkan orang karena kerabat, dan
janganlah dipermain-mainkan orang banyak”. Setlah itu Abd Rauf menskor
pertemuan dan melakukan beberapa pertemuan dengan para tokoh masyarakat pada
saat itu dan begitupun dengan Ali dan usman.
Kemudian piliha mengerucut pada dua orang saja yakni Usman bin
Affan dan ali bin Abi talib maka Abdurrahman bin Auf mengajukan 3 syarat yang
harus dipenuhi oleh kedua calon tersebut: pertama harus tunduk kepada Allah swt
dan Rasulnya kedua harus mengikuti teladan kedua khalifah sebelumnya yakni Abu
baka dan Umar bin Khattab ketiga tidak boleh lebih mendahulukan kepetingan
keluar sendiri daripada masyarakat.[4]
Selanjutnya disuatu subuh, empat hari setelah Umar bin khattab wafat
masalah suksesi in dibawah ke depan umum, akibatnya, terjadilah perdebatan
antara pihak –pihak yang menjagokan Ali bin Abi thalib dan usman Bin affan para
pendukung saling mempengaruhi massa untuk memilih jagoan masing-masing, melihat
situasi yang semakin mengarah kepada perpecahan umat sain bin abi waqqas
menyatakan amandemen kepada Abdurrahman bin asuf agar segera bertindak
meyelesaikan masalah.
Abudurrahman
selanjutnya memanggil Ali bin Abi thalib untuk tampil kedepan umum seraya
bertanya “ jika engkau terpilih mejadi khalifah apaha engkau akan tetap
berpegang kepada kitab Allah dan sunnah rasulullah serta tradisi dua orang
khalifah sebelu,nya? “ Ali bin Abi talib menjawab “saya berharap demikian dan
akan bertindak sesuai dengan ilmu dan kemampuan saya” setelah mengulangi
pertanyaan ini sebanyak tiga kali Ali menjawab “ Aku akan memperlakukan kamu
sesuai dengan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah tanpa meneladani siapapun”.
Karena curiga dibalik motif penekanan
abd rahman atas jawaban kategoris terhadap tuntutannya, Ali berakta sambil
menuduh,” kamu tidak berhak menghalangi dalam merebut hak saya terhadap jabatan
ini”[5].
Selanjutnya
Abd rahman bin Auf memanggil Usman bin affan tampil kedepan dan mengajukan
pertanyaan yang sama seperti yang diajukan kepada Ali bin Abi Talib. Dengan
tegas Usman bin Affan menjawab : “ya saya akan melakukannya!” seketika itu juga
Abd rahman bin Auf menengadahkan tangannya sambil berdoa, Ya Allah, dengar dan
saksikanlah, beban beratku telah aku pindahkan kepada Usman bin Affan. Iapun
menyalami Usman bin Affan sebagai tanda baiat kepadanya.
Tangan kanan yang pertama menjabat tangan kanan Usman untuk
membai’at adalah tangan Ali bin Abi Thalib,
baru kemudian diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Demikianlah Usman
memikul beban-beban khalifah yang dipikulnya ketika ia hampir mencapai usia 70
tahun.[6]
3.
Proses pemerintahan dan Masalah-masalah yang dihadapi Usman bin
Affan
Setelah Usman bin Affan resmi terangkat jadi Khalifah, maka ada
beberapa hal yang dilakukan yang tercatat dalam sejarah yang menjadi prestasi
dalam masa pemerintahannya antara lain, yaitu:
a.
Penumpasan pembangkan dan perluasan wilayah
Pendaratan Romawi di Iskandariah itu jatuh pada bulan-bulan pertama
tahun 25 H (664 M), yakni selang setahun dan beberapa bulan sesudah pelantikan
Usman. Hampir semua sumber sepakat tentang tahun ini. Kesepakatan ini
menunjukkan bahwa terbunuhnya Umar telah membuat kota Konstantinopel berani
cepat-cepat menyambut permintaan penduduk Romawi di Iskandariah itu, dengan
perkiraan bahwa dengan kematian Umar, kaum muslimin sudah kehilangan sang guru
dan menamatkan era pembebasan yang pada masanya telah membuat Romawi dan Persia
mati akal.[7]
Rupanya pihak Arab dalam menghadapi situasi ini serba bingung dan
tidak menentu. Mereka meminta pendapat dan bantuan Amirul mukminin di Madinah.
Para pemuka di Madinah sependapat, begitu juga kaum muslimin di Mesir, bahwa
orang yang akan menghadapi situasi yang begitu penting itu hanya Amr bin Ash.
Namanya saja sudah dapat menggetarkan hati pihak Romawi. Kebijakannya memang
sudah mendapat tempat dalam hati rakyat Mesir dan mendapat dukungan.
Pasukan Romawi sedang menjelajah seluruh Mesir Hilir tanpa menemui
perlawanan. Kendati begitu mereka tidak membiarkan orang-orang Mesir hidup
damai. Kebalikannya, segala yang ada pada mereka dirampas paksa dan mereka
diperlakukan dengan penghinaan yang sangat keji. Dalam pada itu Amr bin Ash
sedang mengatur pasukan dan persiapan perangnya di Babilon. Setelah diketahui
bahwa pasukan Romawi sudah mendekati Naqyus ia keluar dan sudah siap hendak
menghadang mereka. Ia memimpin pasukan 15.000 orang dengan kepercayaan bahwa
jika mereka tak dapat mengalahkan pasukan Romawi mereka akan terpukul mundur
kembali ke Semenanjung Arab dengan membawa malu yang tercoreng di kening karena
lari.
Tercatat dalam sejarah bahwa Amr bin Ash menang dan mampu
membebaskan Mesir, dengan begitu Amr telah membebaskan kembali Iskandariah, dan
selesailah sudah pengusiran pasukan Romawi dari mesir untuk kedua kalinya.
Antara kedatangan mereka ke Iskandariah sampai kaburnya mereka dari kota itu,
sekali ini hanya selang beberapa bulan. Dalam waktu yang begitu singkat Amr
telah mampu mencapai tujuannya. Dengan kembalinya muslimin dan pemerintahannya
itu, sekali lagi rakyat Mesir merasa lega. Sekarang mereka merasa senang dan tentram sekali setelah sebelum itu mereka
melihat pihak Romawi menjarah harta mereka. Sebaliknya sekarang, yang mereka
lihat justru pasukan Muslimin mengembalikan harta mereka yang dirampas itu
kepada mereka, setelah berhasil merampas kembali harta itu dari pasukan Romawi.[8]
Daerah front Timur, ustman dapat kembali menguasai wilayah Kabul,
Gaznah, balk, dan Turkistan bagian timur, selanjutnya sebagian wilayah Hurasan
seperti Naisabur, Tus dan Marw, didaerah Utara Muawiyah bin Abi sufyan,
gubernur Syria menaklukkan Asia kecil sampai emmrebut pualu Cyprus. Wilayah
front Barat Abdullah bin Sa’ad, gubernur mesir menerobos ke Tripoli dan
menaklukkan sebahagian Afrika utara kota cartago terpaksa membayar upeti kepada
khalifah umat islam di Madinah[9].
Sebagai catatan bahwa perluasan wilayah pemerintahan Islam bukan
atas dasar menganiaya, merampas, memperbudak tetapi karena rasa kemanusian yang
ingin membebaskan rakyat dari segala bentuk kezhaliman.
b.
Masalah yang dihadapi pemerintahan Usman bin Affan
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman bin Affan menempatkan
beberapa anggota keluarga dekatnya untuk menduduki jabatan yang strategis. Hal
ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan
motif Nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman
dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai alasan motif Nepotisme tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Muawiyah
bin Abu Sufyan yang menjabat sebagai Gubernur Syam, dia termasuk Sahabat Nabi,
keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.[10]
2.
Pimpinan
Basyrah, Abu Musa al-Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir
(sepupu Utsman).
3.
Pimpinan
Kufah, Sa’ad bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid bin ‘Uqbah (saudara tiri
Utsman). Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan
baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id bin ‘Ash (saudara
sepupu Utsman).
4.
Pimpinan
Mesir, Amr bin ‘Ash diganti dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, yang masih
merupakan saudara seangkat (dalam sumber lain saudara sesusuan atau bahkan
saudara sepupu Utsman).
5.
Sekretaris
Negara, Marwan bin Hakam (sepupu sekaligus ipar Utsman).
6.
Khalifah
dituduh sebagai koruptor dan nepotism dalam kasus pemberian dana al-Khumus (seperlima harta dari rampasan
perang) kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, Marwan bin al-Hakam, dan
al-Harits bin al-Hakam.
Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa
tindakan Usman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya
pembelaan terhadap tindakan Utsman bahwa jauh sekali dari motif Nepotisme.
Sebagai contoh salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Usman
mengangkat wali-wali Negara dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat
wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik
karakteristiknya. Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Usman
semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah di masing-masing wilayah
tersebut.
Dalam manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan
hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota jelas lebih baik
dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut
kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan
bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apapun.
Selain persoalan diatas masalah social
ekonomi juga menjadi hal yang menjadi hambatan bagi pemerintahan Usman bin
Affan karena pada saat terajdi ekpansi besar besaran dan berhasil menaklukkan
beberapa wilayah subur karena merubah kebiajakn ayng dienrikan oleh khalifah
sebelumnya yaitu umar bin khattab yakni
yang dulunya tidak dibiarkan kepada pihak luar untuk menguasai wilayah khafah,
basrah dan Mesir. Usman membuat kebijakn memberikan peluang kepada orang-orang
dari luar sehingga terajdi gelombang perpindahan penduduk dari Jazirah Arab ke
Irak dan Mesir. [11]
c.
Penyeragaman Mushaf Al-qur’an
Mushaf yang telah dikompilasi pada zaman Abu Bakar r.a., setelah
wafatnya, berpindah kepada Umar bin al Khattab r.a., lalu berpindah lagi ke
tangan putrinya, Hafshah. Kemudian, khalifah Usman meminta mushaf tersebut
hingga dilakukan penyalinannya setelah di beberapa wilayah taklukan tampak
terjadi perbedaan dalam membaca teks ayat-ayat al Qur’an.
Usman
menugaskan empat orang sahabat besar untuk mengedit teksnya. Mereka adalah Zaid
bin Tsabit, Sabit bin al-Ash, Abdullah bin as-Zubair, dan Abdullah bin
al-Harits bin Hisyam. Setelah dilakukan penyalinan mushaf dengan dialek
Quraisy, ia mengembalikan naskah aslinya kepada Hafshah, lalu naskah salinan
dikirimkan ke beberapa wilayah yang telah dikuasai Islam. Selanjutnya,
penyalinannya kembali dan pendistribusiannya
dilakukan oleh para fukaha dan para ulama.
Adapun,
naskah-naskah yang ada sebelumya, yang didalamnya terdapat perbedaan, Usman
memerintahkan agar dibakar. Dengan demikian, mushaf yang telah disalin itu
dinamakan Mushaf Utsmani, dinisbahkan kepada Usman bin Affan, sebagai
penghormatan atas karya besarnya.[12].
d.
Sebab-sebab pemberontakan
Sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang
berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman dapat diteliti dari beberapa segi.
Pertama, bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah kelompok yang
memeluk Islam tidak dengan sepenuh kesadaran tetapi melainkan untuk kepentingan
tertentu seperti Abudullah ibn Saba’, orang Yaman yang semula pemeluk agama
Yahudi. Mereka ini menyebarkan hasutan terhadap Usman. Keberhasilan propaganda
jahat Abdullah ibn Saba’ membuat jumlah kekuatan pemberontak bertambah
banyak.
Kedua, persaingan dan permusuhan antara
keluarga Hasyim dan keluarga Umayyah turut memperlemah kekuatan Usman. Sebelum
Nabi Muhammad lahir telah berlangsung persaingan kedua keturunan yang masih
bersaudari ini. Pada masa pemerintahan Usman benih kebencian ini tumbuh
kembali.
Ketiga, lemahnya karakter kepemimpinan
Usman turut pula menyokongnya, khususnya dalam menghadapi gejolak
pemberontakan. Bahwa Usman adalah pribadi yang yang sederhana dan sikap lemah
lembut sangat tidak sesuai dalam urusan politik dan pemerinthan, lebih-lebih
lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang demikian dibutuhkan sikap
yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti ini tidak
dimiliki oleh Usman. Pada beberapa kasus ia terlalu mudah untuk memaafkan orang
lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan. Sikap lemah-lembut ini
mendorong pihak-pihak yang bermaksud jahat melancarkan maksudnya, dan juga
mudah dipengaruhi oleh kelaurga terdekatnya.
4.
Terbunuhnya Usman bin Affan
Usman bin Affan meninggal karena terbunuh pada 18 Zulhijjah 35
H/656 M dalam usia 82 tahun dan memerintah selama 12 tahun lamanya, pembunuhan
ini dilakukan oleh para pemberontak yang berdatangan dari Mesir, Basrah dan
Kufah. Peristiwa ini merupakan akibat dari ketidakpuasan rakyat terhadap
kebijakan yang dijalankan Usman selama ini. Diantaranya banyaknya campur tangan
pihak keluarga dekat Usman bin Affan disemua sektor pemerintahan baik itu
dibidang politik ekonomi maupun yang lainnya.
Sehingga membuat kebijakan-kebijakan yang dihasilkan sudah tidak
pro rakyat diantanya banyaknya gubernur yang diganti dengan gubernur baru yang
berasal dari kelaurga dekat Usman bin Affan sendiri namun diantara
gubernur-gubernur yang dipilih ada dari mereka memiliki sifat-sifat yang tidak
baik dan bertindak sewenag-wenang. Sehingga membuat kemarahan masyarakat semakin
memuncak. Beberapa sahabat sendiri sudah mengingatkan seperti Ali bin Abi Talib,
Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, namun karean pengaruh keluarganya
sudah mendalam maka usaha mereka sia-sia.
Dalam situasi yang seperti ini maka pemberontakanpun bergejolak
sampai membuat serombongan rakyat Mesir ingin mempertanyakan kebijakan Khalifah
Usman mendengar kabar keberangkatan dari mesir para penduduk Basra dan Kufah
segera melakuan hal yang sama mereka bermaksud mendukung rakyat Mesir dalam
perubahan kebijakan politik gubernur Mesir, namun para pemberontak ini kemudian
ditemui oleh para sahabat utama seperti Ali bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah
bin Ubaidillah untuk membela khalifah Usman bin Affan dan para pemberontakpun
akhirnya menerima klarifikasi dari para shabat kembali dan akhirnya pulang
kembali kedaerah asal masing-masing.
Namun pada saat diperjalanan pulang para pemberontak menangkap
seorang kurir yang membawa surat untuk gubernur mesir yang isinya adalah
perintah untuk membunuh para pemberontak terhadap pemerintahan khalifah usman,
akhirnya mereka mengurunkan niatnya untuk kembali dan memutar arah untuk menuju
Madinah menemui khlifah dan meminta pertanggung jawaban atas surat yang mereka
temukan. Namun samapai bebrapa hari mereka mengepung rumah khalifah usman dan
meminta agar menyerahkan dalang dari pembuat surat tersebut namun samapi waktu
yang ditentukan tak ada kejelasanyang didapatkan sehingga akhirnay para
pemberontak menyerang rumah khalifah Usman di waktu subuh.
Ketika penyerangan dilakuakn Usman bin Affan sedang membaca
Al-Qur’an setelah menunaikan shalat subuh. Kaum pemberontak akhirnya membunuh
khalifah Usman diantara pemberontak itu ada Muhammad bin Abu Bakar namun iya
sendiri tidak sempat bebuat aniayah karena mendengar perkataan khalifah usman
binAffan kemduian dia menjadi lemas dan meninggalkan Usman bin Affan. Ketika
Sudan bin Amran hendak menebaskan pedangnya keleher khalifah usman maka Nailt
Istrin Usman bin Affan menangkis dnegan tangannya sehingga jari-jarinya itu
terputus, namun para pemberontak semakin brutal dan akhirnya membunuh khalifah
Usman bin Affan. [13]
B.
Ali Bin Abi Thalib
1.
Biografi Singkat Ali bin Abi Talib
Ali
bin Abi Talib dilahirkan di Mekah, tepatnya di Ka’bah, Masjid al-Haram, di kota
kelahiran Bani Hasyim, pada tanggal 13 Rajab (sekitar 600 Masehi). Nama
ayahnya; Abu Talib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abu Manaf. Ibunya; Fatimah
binti Asad bin Hasyim bin Abu Manaf. Perkawinan keduanya merupakan pertama kali
terjadi antara sesama keluarga Hasyim[14].
Di
terkadang dipanggil Ali bin Abi Talib adalah Abu al-Hasan, Abu al-Sibtain, dan
Abu Turab (nama yang dipanggilkan oleh Rasulullah). Dia masuk Islam ketika
berumur 10 tahun, ia menerima Islam tanpa ragu sedikit pun. Begitu juga tanpa
berunding dengan siapa pun, sekalipun ke ayahnya, Abu Talib. Sebagaimana ucapannya:
“Allah menjadikan saya tanpa saya harus berunding dengan Abu Talib. Apa gunanya saya berunding dengan
dia untuk menyembah Allah”.
Termasuk
orang yang pertama masuk Islam, yang juga dari Bani Hasyim dan dari kalangan
anak mudah, yang ketika itu belum akil baliq. Sejak lahir, begitu membuka mata
dia sudah bergaul dengan nabi Muhammad, yang diasuh oleh ayahnya, di rumah
ayahnya. Sejak itu, hampir seluruh kegiatan, dia bersama Rasulullah saw. Pada
tahun 2 H, Rasulullah menikahkan ‘Ali bin Abi Talib dengan anaknya Fatimah,
yang kemudian dikarunia dua anak yaitu Hasan dan Husein.[15]
Watak
kepribadian ‘Ali bin Abi Talib, banyak diceritakan oleh para penulis
biografinya dalam buku-buku sejarah. Dalam buku-buku tersebut bahwa tenaga dia
begitu kuat di atas tenaga orang rata-rata. Dia dapat membanting penunggang
kuda berikut kudanya sekaligus, suaranya lantang bergetar dapat menggetarkan
hati musuh. Salah satu peran penting dia yaitu ketika semua kaum Muslimin sudah
pergi meninggalkan Mekkah. Dia berani tinggal seorang diri, dan bahkan
menggantikan Nabi saw di tempat tidurnya. Padahal, malam itu Nabi saw sudah
direncanakan akan dibunuh. Begitu pula peranannya dalam perang-perang bersama Nabi dan sahabat-sahabat, seperti
perang Badar. Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena
mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.[16]
Begitu
juga peran serta dia dalam ekspedisi-ekspedisi kecil sampai perang besar. ‘‘Ali
bin Abi Talib berkata:
“Maut
yang paling mulia adalah mati dalam pertempuran”. Dia juga mengatakan: “mati
dengan seribu tebasan pedan lebih baik dari pada mati di atas ranjang”.
Dia juga mengatakan kepada sahabat-sahabatnya:
“Jangan memulai mengajak berduel, tetapi jika
ditantang jangan mundur”.
Pada
perang Parit, ketika Amr bin Abd Wudd, pahlawan Quraisy yang terkenal pemberani
itu menerjang dan menyerbu parit, dan menantang Muslimin, tak ada yang berani
menyambut tantangannya selain ‘Ali bin Abi Talib. Ketika berduel satu lawan
satu, ‘Ali berhasil memisahkan kepala si jago tersebut dari badannya dalam
waktu tak seberapa lama.[17]
Sebagai
pemudah, dia sangat pemberani. Kisah-kisah keberaniannya sudah sangat terkenal
dalam sejarah. Di medan perang, dalam semua medan pertempuran ‘Ali selalu
diserahi bendera Nabi, karena keberanian itu juga dia dikenal dengan julukan “asadullah”
(singa Allah).
Sungguh
pun begitu (kuat dan pemberani), dia sangat lemah-lembut terhadap siapa pun,
dan tekun menerima pelajaran Nabi, dia banyak senyum dengan tutur bahasa yang
manis dan fasih. Dan bila terjadi perdebatan, dia selalu mengemukakan
argumentasi yang kuat, sehingga membuat lawan bicaranya menyerah dengan rasa
puas. Tetapi bila argument pihak lawan bicaranya dilihat cukup kuat dengan
senang hati dia pun menerimanya.
Hidupnya
sangat rendah hati, ia tidak pernah merasa dirinya lebih tinggi dari orang
lain. Akhlak ‘Ali, selain sudah menjadi bawaannya, juga tidak lepas dari
didikan Nabi: yang memiliki sifat murah hati, lapang dada, tidak pendendam dan
selalu memelihara silaturrahim. Ada dua sifat yang terkenal melekat pada
dirinya,yaitu akhlak dan keberaniannya. Diantara kelebihan dia yaitu orang yang
pernah bergaul dan hidup bersama dengan dia, tidak mudah akan berpisah begitu
saja tanpa meninggalkan kesan dalam hatinya. Sebagaimana seorang budak kecil
yang dia beli, dan budak itu tidak mau berpisah darinya, meskipun budak itu
ditawari kedudukan sebagai raja.[18]
Ali
mendapat tempat di hati ummat bukan saja karena kedekatannya dengan Nabi berupa
hubungan darah dan hubungan keluarga, tetapi juga karena sifat-sifat pribadinya
yang simpatik dan sangat khas. Dia terkenal sebagai orang yang zahid dan wara’,
orang yang sarat dengan ilmu, tempat para sahabat terkemuka bertanya dalam
masalah-masalah hukum agama yang susah, atau tentang makan sebuah ayat dalam
al-Qur’an atau tafsirannya.[19]
Ketika
Abu Bakar menjadi khalifah, kemudian Umar dan Usman, dia diangkat menjadi
penasehat khalifah. Dan juga diserahkan kepadanya kedudukan hakim tentang
permasalahan hukum. Pengankatan itu tentu didasarkan kepada dalamnya ilmu yang
dimiliki oleh Ali. Dengan demikian, Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakan
pedang maupun dalam mengunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seorang orator
(ahli pidato), dia merupakan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya
menjadi buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya.
2.
Proses Pembaiatan Ali bin Abi Talib
Setelah
pembunuhan Khalifah Usman, kebingungan dan kekacauan terjadi di Madinah selama
lima hari. Pada waktu itu Abdullah bin Saba’, pemimpin partai Mesir,
mengusulkan bahwa ‘Ali, sebagai pengganti Nabi yang sah, meneruskan
kekhalifaan. Semua menyetujui. ‘Ali mula-mula tidak mau menerima kekhalifaan
itu pada saat dan keadaan seperti itu. Akan tetapi, mengingat
kepentingan-kepentingan Islam, akhirnya dia setuju untuk menerima tanggung
jawab kekhalifaan. Oleh karean itu pada tanggal 23 Juni 656 M/ 5 Zulhijjah
tahun 35 H, hari keenam pasca
terbunuhnya Usman, ‘Ali terpilih menjadi khalifah setelah dibai’at. Setiap
orang memberikan sumpah setia kepadanya, dan dia dinyatakan sebagai khalifah
Islam.[20]
Dalam
keterangan yang lain bahwa dalam kondisi genting pasca terbunuhnya Usman,
beberapa terindetifikasi sebagai pembunuh khalifah Usman. Dengan terjadinya
pembunuhan tersebut, baik secara langsung atau tidak, hal itu menimbulkan isu
bahwa dibalik pembunuhan itu ada campur tangan ‘Ali . Orang yang terlibat
langsung atau tidak langsung dalam tragedi pembunuhan khalifah, kebanyakan
berasal dari Mesir. Dan memeng pada waktu itu kebanyakan pendukung ‘Ali berada di Mesir.[21]
Dalam
keterangan yang lain juga mempertegas
bahwa pembai’atan tersebut melibatkan
beberapa golongan sahabat-sahabat diantaranya Thalha, Zubair Abdullah ibn Umar,
Sa’ad bin Abi Waqqas. Namun proses ini kemduain diprotes oleh putranya sendiri
Al-Hasan karena mereka menganggap bahwa di tengah situasi yang penuh fitnah
seperti saat itu, mestinya ali menolak ketika diabaiat sebagai khalifah, Ali
sendiri telah menyadari konsekuensinya namun ia harus maju demi menyelamatkan
umat Islam dari kehancuran yang lebih besar. [22]
3.
Pemerintahan dan hambatan yang dihadapi Ali bin Abi Talib
Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan
pembai’atan.Setelah pelantikan selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya
dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi. Setelah memuji dan
mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:
“Sesungguhnya
Allah telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan
keburukan. Maka ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah
menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga.
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas,
memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan
dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat menjaga
keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang
muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi
kepentingan umum, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai
pertanggungjawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang
ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan
ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah.”
“Wahai
manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap
khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum
jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh
lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at
terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang
mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.”[23]
Sejak hari pertama masa pemerintahannya khalifah Ali selau
memperhatikan dan mencermati situasi rakyat pada saat itu, beliau terus
berupaya untuk meneliti hal-hal yang meresahkan rakyatnya, membangun saluran
air untuk mengaliri sumber-sumber pertanian, mengontrol para pelanggar aturan
danmengawasi perekonomian dan membentuk dewan pengawas pasar, membangun penjara
untuk menahan para penjahat, membentuk dewan keamanan, menindak semua pelanggar
syariat termasuk persoalan khamar dan menguatkan akidah dengan ,menumpas para
perilaku syirik.
Dalam situasi politk yang tidak mennentu ali berusaha
menstabikannya sehingga tidak melakukan
ekspansi untuk perluasan wilayah Ali disibukakn denagn situasi social politik
yang mendesaknya untuk menciptakan persatuan umat, demi mencapai tujuan
tersebut Ali mengganti beberapa gubernur yang diangkat oleh khalifah usman.
Adapun hambatan yang paling nyata yang dihadapi oleh khalifah Ali
bin abi thalib diantaranya:
a.
Pemberontakan
yang dilakukan oleh Thalha, Zubair dan Aisyah
Ali
dibai’at menjadi khalifah yang keempat, tidak lama kemudian, dia mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka sahabat. Terutama Talha dan Zubair dari Mekkah
yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah ra. Koalisi ini beralasan bahwa ‘Ali tidak tidak mau menghukum para pembunuh
Usman.[24]
Talha
dan Zubair mula-mula menerima Ali sebagai khalifah. Belakangan mereka tidak
mengakuinya karena Ali tidak menyetujui tuntunan mereka bahwa dia harus segera
menghukum para pembunuh khalifah Usman. Tuntunan mereka adalah tuntunan yang
tidak mungkin. Tugas khalifah Ali yang harus segera dilaksanakannya ialah
memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukannya di dalam imperium yang
dilanda kerusuhan dan kekacauan. Kedua, menghukum para pembunuh itu bukan tugas
yang mudah. Khalifah Usman tidak dibunuh oleh beberapa orang sehingga dapat
dengan mudah dipastikan dan dihukum. Banyak orang Mesir, Irak, dan Arabian yang
secara langsung terlibat dengan pembunuhan itu. Karenanya, untuk menghukum para
pembunuh pada waktu kacau dan sulit, tentu akan meruntuhkan khalifah dan
kekhalifahan.[25]
Sebelum
terjadi peperangan, ‘Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang, dia
mengirim surat agar Talha dan Zubair
keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun
ajakan tersebut ditolak.[26]Akhirnya
pertempuran tidak terhindarkan. Pertempuran itu disebut dengan perang Jamal.
antangan dari koalisi tersebut berhasil dipatahkan ‘Ali bin Abi Talib dalam pertempuran jamal tersebut yang terjadi
di Irak pada tahun 656 M. Dalam
peperangan tersebut, Talha dan Zubair mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali
ke Mekkah.[27]
b.
Tantangan
dari Muawiyah
Ketua Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan, selaku gubernur
Damaskus, mengharapkan kekhalifaan, dan memanfaatkan keadaan yang ditimbulkan
oleh pembunuhan Usman itu untuk kepentingan sendiri. Setelah pembunuhan Usman,
banyak bani Umayyah yang pergi ke Damaskus dan bergabung dengan Mu’awiyah
sehingga pada waktu pembaiatan ‘Ali sebagai khalifah, Mu’awiyah telah memimpin
perhimpunan keluarga-keluarga Umayyah yang berjumlah beribu-ribu. Hal ini
sangat memperkuat kekuasaan ketua Umayyah dalam menentang khalifah ‘Ali.
Akhirnya Muawiyah yang cerdik itu memanfaatkan pembunuhan khalifah
Usman untuk menjatuhkan nama khalifah Ali di mata ummat Islam. Dia
membangkitkan kemarahan rakyat dengan memperlihatkan di dalam Mesjid Damaskus barang-barang
peninggalan Khalifah Usman.[28]
Sebagaimana halnya Talha dan Zubair, dia menuntut agar pembunuh Usman diadili.
Dalam keterangan yang lain bahwa penentangan Mu’awiyah disebabkan
oleh kebijakan ‘Ali , yaitu setelah menjadi khalifah, dia memecat para gubernur
yang korup yang diangkat oleh Usman,
termasuk salah satunya adalah Mu’awiyah, sekalipun dia diangkat pada masa Umar.
Dalam hal ini, Ali juga memandang bahwa mereka gubernur itu tidak mampu meredah
timbulnya pemberontakan di daerah masing-masing, begitu juga mereka tidak
disenangi oleh rakyat. ‘Ali juga menarik
tanah yang oleh Usman dihadiakan kepada para pendukung dan hasil tanah tersebut
diserahkan ke khas Negara, sekaligus ‘Ali
berusaha mengembalikan pemerintahan Islam seperti masa Umar.[29]
Begitu juga dalam keterangan yang lain bahwa ada asumsi yaitu salah
seorang pemuka pemberontak-pemberontak yang berasal dari Mesir, yang datang ke
Madinah dan kemudian membunuh Usman bin ‘Affan, adalah Muhammad ibn Abi Bakr,
yang merupakan anak angkat dari ‘Ali bin Abi Talib. Bahkan Muhammad ibn Abu
Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.[30]
Dengan demikian, perihal sikap Ali
tersebut, kiranya tidak menutup
kemungkinan menimbulkan kecurigaan di kalangan keluarga terdekat Usman dan
orang-orang yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, tuduhan itu tidak terbukti
kebenarannya. Karena menurut kesaksian bibi Nailah selaku istri Usman, yang
berada di dekat Usman ketika dia dibunuh bahwa bukanlah Muhammad bin Abu Bakr.[31]
Dengan bersikerasnya Mu’awiyah dan penolakannya terhadap ‘Ali
sebagai khalifah dan menentang perintahnya untuk meletakkan jabatan. Khalifah
Ali bergerak dari Kufa memimpin 50.000 tentara untuk menumpas pemberontakan
Mu’awiyah yang maju dengan tentara yang besar untuk menghadapi tentara khalifah
‘Ali. Kedua pasukan itu berhadapan di medan Siffin.
Khalifah ‘Ali mau menghindari pertumpahan darah ummat Islam dan mau
menyelesaikan perselisihan itu dengan cara damai. Mu’awiyah tidak menyetujui
perdamaian dengan syarat lain apa pun. Bahkan ‘Ali mengusulkan perang dengan
duel satu lawan satu untuk memutuskan persoalan kekhalifaan itu. Akan tetapi
Mu’awiyah agaknya lebih baik menghadapi seekor harimau yang ganas dari pada
harus menghadapi Ali (singa Allah).
Karena usaha menyelesaikan secara damai menemui jalan buntu,
pertempuran pun tidak terhindarkan.
Pertempuran itu yang dikenal dengan perang Siffin. Dalam
peperangan tersebut, tentara ‘Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah, sehingga
mereka bersedia untuk mengundurkan diri dan lari. Tetapi kemudian terbantu dengan
munculnya pemikiran untuk melakukan Tahkim, ‘Amr ibn al-‘As selaku
tangan kanan Mu’awiyah mengacung-acungkan al-Qur’an ke atas untuk berdamai. Awalnya Ali mengetahui Akal busuk Muawiyah
dan Amar bin Ash hingga ia enggang menerima arbitrase tersebut, namun akhirnya
Ali menerima karena desakan yang dilakukan oleh pasukannya, sebenarnya
kemenagan sudah jelas berada dipihak Ali namun karena desak yang terus datang
akhirnya Ali memerintahkan Al-Asytar untuk menghentikan peperangan dan menerima
arbitrase.[32]
4.
Majelis Tahkim dan Lahirnya Khawarij
Setelah disepakatinya untuk dilakukan
arbitrase maka baik itu kelompok Muawiyah atau kelompok dari Khalifah Ali
menyepakati untuk mengangkat dua orang juru runding. Ali menunjuk Abu Musa
Al-Asy’ari sebagai delegasi dan Muawiyah menunjuk Amr bin al-Ash, pertemuan
diadakan di Daumah al Jandal di Syam, pada bulan ramadhan tahun 37 H. masing
masing kelompok membawa 400 pengikut, dan perundingan tersebut menyepakati
bahwa kedua delegasi sepakat untuk menurunkan Ali dan Muawiyah dari kedudukan
mereka. Masalah kekhalifaan kemudian diserahkan kepada kaum Muslimin untuk
emilih oran gyang dikehendaki.
Setalah itu disepakati pula Abu Musa
al-Asy’ari terlebih dahulu menyampaikan kesepakatan dan mengumumka kepada
masyarakat bahwa hasil kesepakatan dari pertemuan ini adalah ditanggalkannya
kekhalifaan Ali bin Abi Talib dan Muawiyah, dan selanjutnya masalah kekhalifaan
akan diserahkan kepada para hadirin kaum Muslimin. Setelah itu giliran Amr bin
Ash untuk menyemapaikan hasil kesepakatan bahwa karena kekhalifaan Ali sudah
ditanggalkan maka saya tetapkan Muawiyah sebagai khalifah pengganti Usman bin
Affan.
Pernyataan ini sontak membuat para pendukung Ali
kemudian bergejolak dan bereaksi keras untuk menolak kesepakatan itu, dan
kemudian pengikut Ali pada saat itu terpecah menjadi dua bagian dimana ada
kelompok yang tetap setia kepada khlaifah Ali bin Abi Talib dan ada kelompok
yang kelaur dari barisan Ali atau dikenal dengan istilah kaum Khawarij,
khawarij menilai bahwa majelis tersebut telah membaut suatu keputusan yang
bertentangan dengan ketentuan Allah, olehnya itu mereka dianggap bahwa para
delegasi in telah kelaur dari jalan Allah.[33]
5.
Prose Pembunuhan Ali bin Abi Talib
Masa kekhalifahan Ali penuh dengan
pergolakan, cita-cita Ali ingin mengadakan
konsolidasi interen dalam pemerintahannya tidak tercapai. Kemungkinan hal ini terjadi karena
Ali menjalankan pemerintahan dengan pendekatan revolusioner atau hanya menerima
sisa-sisa kekecewaan akibat sistem pemerintahan yang dijalankan Usman bin
Affan. Semakin terkotak-kotakny umat Islam pada saat itu
membuat kekhalifaan Ali semakin sibuk mengurusi para pemberontak sehingga
hampir dikatan bahwa kepemimpinan Ali hanya banyak mengeurusi persoalan intern
Umat Islam itu sendiri.
Pada waktu Ali bersiap-siap
hendak mengirim pasukan sekali lagi untuk memerangi Mu'awiyah, terbentuklah
suatu komplotan untuk mengakhiri hidupnya. Kelompok itu terdiri dari tiga orang
Khawarij yang bersepakat hendak membunuh Ali, Mu'awiyah serta Amr bin Ash yang dilakukan pada
malam yang sama. Barak ibnu Abdullah al-Tamimi menuju Syam untuk membunuh Amr
bin Ash dan Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali yang sedang memanggil orang
untuk shalat. Sedangkan Al Barak bin Abdillah At Tamimy menunggu Muawiyah selesai sholat
subuh dan menikam Muawiyah, tetapi hanya terkena pinggul dan Al Barak mati
terbunuh ditangan Muawiyah. Yang terakhir adalah Amr bin Bakri membunuh wakil
yang dikira Amr bin Ash karena Amr bin Ash tidak berangkat mengimami Sholat
lantaran sakit perut. [34]
BAB III
KESIMPULAN
Kepemimpinan khalifah Usman bin Afan
yang membawa banyak keberhasilan mulai dari perlausan wilayah sampai
penyeragaman al-qur’an, namun selain itu beberapa kebijakan kontroversialnya
karena mengangkat kerabat dekatnya menjadi pejabat pemerintah dianggap perilaku
nepotisme dan melanggar kebiasaan para pendahulunya yang sangat menghindari
memberikan jabatan kepada kelaurga dekatnya.
Inilah yang membuat gejolak dari
intern kaum Islam itu sendiri karena kebijakan kebijakan politk yang diambilnya
tidak memihak kepada rakyat sehingga terjadi pemberontakan yang berujung pada
terbunuhnya khalifah usman ditangan pemberontak
Sepeninggalan khalifah Usman maka
umat Muslim kemudian mencari suksesi dari pemerintahan namun beberapa orang yang
akan diserahi tugas itu kemudian menolak untuk memangkunya namun atas dasar
kesepatakan antara kaum muhajirin dan anshar serta tokoh Islam pada masa itu untuk
memilih Ali bin Abi Talib. Maka Ali sebagai orang yang diserahi tugas tak mampu
menolak hal itu meskipun awalnya dia bersikeras untuk tidak menjabat jabatan
kekhalifaan.
Masa rumit pemerintahan Ali bin Abi
Talib Karena harus menghadapi gejolak pemerintahan ditambah lagi keinginan
beberapa golongan untuk mengadili para pemberontak yang membunuh usman,
akhirnya membuat dilematis dan menciptakan babak baru pemberontakan yang dengan
dalih ingin mencari keadilan dari terbunuhnya khalifah Usman, maka muncullah
pemberontakan Talha, Zubair yang didukung oleh Aisyah meskipun akhinrya dapat
dikalahkan, muncul pula pemberontakan yang dilakukan oleh bani Umayah dengan
motif dan tujuan yang sama untk mencari keadilan dari pertistiwa terbununya
Usman. Namun ini ditengah pertempuran yang seharusnya dimenangkan oleh khalifah
Ali menaydari hal itu Umayah kemudian mengisyarakatkan untuk islah dengan jalan
arbitrase atau lebih dikenal dengan majelsi tahkim
Maka dari persoalan majelis tahkim
kemudian yang menjadi landasan politik umayah untuk menjatuhkan kehkalifaan Ali
bin Abi Talib dan dari ketidak puasaan hasil tahkim ini sehingga pendukung Ali
tebaig menjadi 2 golongan ada yang tetap setiap terhadap Khalifah Ali dan ada
yang keluar dan diberi naman dengan golongan kaum Khawarij.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Afifi, Abdul Halim. Mausu’ah Alf Huduts Islami diterjemahkan
oleh Irwan Kurniawan dengan judul 1000 Peristiwa Dalam Islam, Cet. I; Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002.
Al-Najjar,
Abd al-Wahhab. Al-Khulafa’ al-Rasyidun . Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub
al-‘Amaliyyah, 1987.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Tarikh
al-Khulafa’. Bairut: Dar al-Fikr, t.t
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. terj. Samson Rahman. Cet. I;
Jakarta: Akbar. 2003
Audah,
Ali. Ali bin Abi Talibi. Cet.IV; Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008.
Hasan,
Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islami, Juz. I. Cet.
IX; Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Masriyyah.
Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa pemerintahan
Islam. Makassar ; Alauddin University Press: 2012
Haekal, Muhammad Husain, Usman bin Affan Cet. V; Bogor:
Pustaka litera Antarnusa, 2007.
Jabbar, Umar Abdul, “Kholasotu Nuril Yaqin, juz III,”
Maktabah Al Hikmah,1985
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007.
K.
Kitti, Philip. History of The Arabs; From
the Earliest Times to the Present. terj. Dedi Slamet Riyadi, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta :
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Mahmudunnasir,
Syed. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi. Cet. IV;
Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan dan Kebudayaan Arab. Cet. I;
Jakarta: Logos, 1997
Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Cet. V;
Jakarta : Universitas Indonesia, 1986.
Ridho,
Muhammad. Al-Imam ‘Ali bin Abi Talib. Bairut: Dar al-Kutub al-Amaliyyah,
t.th.
Syalabi, Ahmad, Sejarah
kebudayaan Islam (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna, 2003
Wahyuddin G, Kepemimpinan
Khalifah Usman Bin Affan. Makassar: Alauddin University Press, 2011
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XVI; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Yusuf, Abu. Kitab Al –kharaj.
cet III. Cairo: Matba’at al-salafiyah, 1982
Majelis Penulis. Sejarah Pemerintahan Ali bin Abi Talib.http://majelispenulis .blogspot. com /2011/05 /sejarah-peradaban-islam-masa-ali-bin,html.
Diakses 13 April 2015
[1] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan.(Makassar:
Alauddin University Press, 2011) h.21
[2] Ahmad
al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman
Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 165.
[3]Ahmad Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam (Jakarta: PT.
Pustaka al-Husna, 2003), h. 229.
[4] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa
pemerintahan Islam. (Makassar ; Alauddin University Press: 2012) h.134.
[5] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan. h.
134
[6] Muhammad
Husain Haekal, Usman bin Affan (Cet. V; Bogor: Pustaka litera Antarnusa,
2007), h. 244-245
[7] Muhammad
Husain Haekal, Usman bin Affan. h.
69.
[8] Muhammad
Husain Haekal, Usman bin Affan. h.
75
[9] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan.
h. 127
[10] Di antara buku
yang menyebutkan indikasi terjadinya nepotisme dalam pemerintahan Khalifah
Utsman bisa dilihat pada Abu A’la Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Bandung: Mizan, 1984), h.
120-130. Juga Philip K. Hitti, History of
The Arabs (London: The MacMillan Press, 1974), h. 44.
[11] Abu Yusuf. Kitab Al –kharaj (cet III. Cairo: Matba’at al-salafiyah, 1982) h.
35
[12] Abdul Halim
al-‘Afifi, Mausu’ah Alf Huduts Islami.., h. 86-87. Lihat pula Muhammad
Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah Analisis…. h. 491
[13] Wahyuddin G, Kepemimpinan Khalifah Usman Bin Affan.
h. 150-151
[14] Jalaluddin
al-Syuti, Tarikh al-Khulafa’, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 155.
[15] Hasan Ibrahim
Hasan, Tarikh al-Islam, Juz. 1 (Cet. IX; Kairo: Maktabah al-Nahd}ah
al-Masriyyah), h. 270.
[16] Ali Audah, Ali
bin Abi Talib (Cet. IV; Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), h. 30-31.
[17] Ali Audah,
Ali bin Abi Talib. h. 33
[18] Ali Audah,
Ali bin Abi Talib. h.29.
[20] Syed
Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi
(Cet.IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. h. 195.
[21]M. Abdul Karim,
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 106
[22] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa
pemerintahan Islam. h.157-158
[23] Majelis Penulis. Sejarah Pemerintahan Ali bin Abi
Talib.http://majelispenulis .blogspot. com /2011/05 /sejarah-peradaban- islam-masa-ali-bin,html. Diakses 13 April 2015
[24] Abd al-Wahhab
al-Najjar. Al-Khulafa’ al-Rasyidin (Bairut: Dar al-Fikr, t.th)., h. 345.
[25] Syed
Mahmudunnasir. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya., h. 196.
[26] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam. (Cet. XVI; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 39.
Lihat juga Syed Mahmudunnasir. h. 196.
[27]Harun Nasution.
Teologi Islam; Aliran-aliran sejarah
analisa perbandingan. Cet. V; Jakarta : Universitas Indonesia, 1986., h. 4
[28] Abd
al-Wahhab al-Najjar, Al-Khulafa’ al-Rasyidun . Cet. I;
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Amaliyyah, 1987. h.
382.
[31] Ali Audah, Ali
bin Abi Talib., h. 33.
[32] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa
pemerintahan Islam. h.184
[33] Hasaruddin. Ali dan Khawarij: Oposisi pada masa pemerintahan Islam.h.2002-203
[34] Umar Abdul
Jabbar, “Kholasotu Nuril Yaqin, juz III,” Maktabah Al Hikmah,1985,
hal. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar