FILSAFAT
KEINDAHAN
Diajukan sebagai Tugas Akhir Dalam Matakuliah Filsafat Ilmu
Semester II Tahun Akademik 2015/2016
Oleh:
Ahmad Ari Suhud
NIM: 80200214025
Dosen Pemandu:
Dr.
Jumadi Rahman, SH., MH.
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2016
FILSAFAT KEINDAHAN
A.
Defenisi Filsafat Estetika
Untuk memahami arti filsafat, secara sederhana dapat dikembalikan
kepada akar pembentuknya yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata philo yang
berarti cinta (love) dan shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan
demikian, filsafat dapat diartikan sebagai “cinta kepada kebijaksanaan”.[1] Filsafat
terbagi ke dalam beberapa cabang, yaitu Logika, Ontologi, Epistemologi, Etika
dan Estetika. Masing-masing dari filsafat ini pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan secara tegas. Pemilihan hanya sekedar pemetaan wilayah kajian yang
pada intinya, apapun persoalan yang ada dalam kehidupan ini saling terkait
secara ketat dalam lingkaran cabang-cabang filsafat ini. [2]
Salah satu cabang filsafat yang akan
dibahas adalah estetika. Estetika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan defenisi, susunan dan peranan
keindahan, khususnya di dalam seni.[3]
Estetika berasal dari bahasa Yunani,
αισθητική, dibaca aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal
yang bisa dirasakan lewat perasaan.[4]
disamping itu seni juga biasa disebut Aisthesis yang berarti pencerapan panca
indra (sense percepstion).[5]
Pengertian
tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh The
Liang Gie bahwa istilah estetika berasal dari kata Yunani
1. Aistetika yang berarti hal-hal
yang dapat dicerap dengan panca indra
2. Aisthesis yang berarti pencerapan
panca indra (sense percepstion)[6]
Jadi, estetika
menurut arti etimologis, adalah teori tentang ilmu penginderaan. Pencerapan
panca indra sebagai titik tolak dari pembahasan Estetika didasarkan pada asumsi
bahwa timbulnya rasa keindahan itu pada awalnya melalui rangsangan panca indra.
Keindahan, menurut
lingkup pembahasannya dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1.
Keindahan dalam arti yang terluas, meliputi keindahan alam, keindahan seni,
keindahan moral, keindahan intelektual dan keindahan mutlak (absolut)
2. Keindahan
dalam arti estetis murni : menyangkut pengalaman esetetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.
3. Keindahan
dalam arti terbatas hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan
penglihatan, yakni berupa kiendahan bentuk dan warna[7]
Dalam kenyataanya,
pencerapan indra penglihatan hanya bersifat terbatas yang menyangkut cahaya,
warna dan bentuk. Keindahan dalam arti pengertian inderawi sebenarnya lebih
luas daripada yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan, sebab beberapa
karya seni dapat pula dicerap oleh indera pendengaran, misalnya seni suara.
Keindahan dalam
arti luas mengandung pengertian idea kebaikan, misalnya Plato menyebut watak
yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan
sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan.
Keindahan Menurut
George Santayana, merupakan teori
tentang nilai-nilai. Dapat pula dikatakan bahwa keindahan adalah; kebenaran,
yaitu pernyataan tentang ideal, simbol, kesempurnaan tuhan, serta manifestasi
indrawi dari sesuatu yang baik. Apresiasi keindahan dan perwujudannya dalam
seni merupakan aktifitas-aktifitas yang termasuk kehidupan yang menyenangkan.
Nilai-nilai yang terkait dengan keindahan adalah berangkat dari keadaan
“positif”, sedangkan nilai moral berangkat dari keadaan yang “negatif”.[8]
Sedangkan seni Seni adalah kekuatan pribadi seseorang yang kreatif,
ditambah dengan keahlian yang bersangkutan dalam menampilkan tugas pekerjaanya.
Seperti ungkapan George R. Terry (1964) yaitu; Art is personal
creative power plus skill in performance.[9]
Mengkaji
citarasa seni seseorang secara filosofis, berarti mendalami bagaimana seorang
itu dengan keahliannya mempu menyelenggarakan, menciptakan, mengkarsakan dan
merasakan secara indah misalnya membuat sesuatu yang berpengaruh, menjadikan pekerjaannya,
penciptaannya dan idealismenya sebagai perwujudan yang dapat dinikmati orang
lain, bagaimana seorang itu menyampaikan kehalusan, keindahan, kebagusan,
keelokan, kecaantikan warna dan bentuk yang menggugah, sehingga tercapai
penyelenggara seni yang berdayaguna.
Sedangkan
keindahan artifisial hanya dapat dimengerti oleh seseorang melalui proses
keterlibatan perasaan dan penalarannya terhadap proses dan hasil karya seni
itu, antara lain yang berkaitan dengan semangat hidup, kepekaan dan situasi emosional.[10]
Menurut A.A.M.
Djelantik, hal-hal yang indah dapat dibagi atas dua golongan, yaitu; yang
pertama keindahan alami yang tidak dibuat oleh manusia, sedangkan yang kedua
adalah hal-hal indah yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia.
Pada hakikatnya
keindahan alam merupakan cerminan dari cahaya keindahan Ilahi. Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa; Tuhan adalah Maha Indah dan menyukai yang indah-indah.
Penghayatan dan penjiwaan keindahan alam membawa pada munculnya kesadaran atas
keindahan.[11]
Tiap-tiap
filsuf mempunyai pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain tentang
defenisi estetika. Tetapi pada prinsipnya, mereka sependapat bahwa estetika
adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan/hal yang indah,
yang terdapat dalam alam dan seni. Definisi-definisi itu diantaranya:
1. Definisi umum :
Estetika adalah
cabang filsafat yang membahas mengenai keindahan/hal yang indah, yang terdapat
pada alam dan seni.
2. Luis O.
Kattoff:
Cabang filsafat
yang membicarakan definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di dalam
seni.
3. Dictionary of Philosophy (dagobert D. Runes):
Cabang filsafat yang
berhubungan dengan keindahan atau hal yang indah, khusunya dalam
seni serta citarasa dan ukuran-ukuran nilai baku dalam menilai seni.
4. The Encyclopedia
of Philosophy
Estetik adalah
cabang Filsafat yang bertalian dengan penguraian pengertian-pengertian dan
pemecahan persoalan-persoalan yang timbul bilamana seseorang merenungkan
tentang benda-benda estetis. Pada gilirannya benda-benda estetis adalah semua
benda yang tekena oleh pengalaman estetis; dengan demikian hanyalah setelah
pengemalan estetis dapat secukupnya dinyarakan ciri-ciri bisalah seseorang
menentukan batasnya golongan benda-benda estetis tersebut.
5. William
Halverson
Cabang filsafat (axciology)yang bertalian dengan sifat dasa dari nilai-nilai non-moral khususnya keindahan dan
nilai-nilai lainya apapun yang mempunyai sangkutan istimewa dengan seni.
6. Van meter Ames
(Collier's Encyclopedia)
Penelaahan
tentang apa yang tersangkut dalam penciptaan, penghargaan dan kritik seni,
dalam ubungan seni dengan peranan yang berubah dari sei dalam suatu dunia
pancaroba.
7. Gerome Stolnitz
(The Encyclopedia of Phylosophy)
Estetika
dilukiskan sebagai penelaahan filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Keindahan
mempunyai nilai estetis yang bersifat positif, sedangkan kejelekan mempunyai
nilai estetis yang bersifat negatif. Hal yang jelek bukan berarti tidak adanya
unsur keindahan.
8. The american
Society for aestheties
Semua
penelaahan mengenai seni dan bermacam-macam pengalaman yang berhubungan dengan
itu dari suatu sudut pandang filsafati, ilmiah dan teoritis lainnya, termasuk
dari psikologi, sosiologi, anthropology, sejarah kebudayaan kritik seni dan
pendidikan. [12]
Selain pendapat-pendapat tersebut,
pendapat lain dikemukakan oleh Guy
Sircello, filsuf yang menjadi pionir di bidang filsafat analitis, merupakan salah seorang filsuf
yang mengembangkan teori tentang estetika di era modern. Menurut Sircello,
estetika merupakan konsep yang berfokus pada keindahan, cinta, dan keagungan.
Bahkan menurut Sircello, estetika sebenarnya sangat terkait dengan cinta
sebagai dasar dari parameter estetika.
Mirip dengan pandangan dari
Sircello, Gregory Loewen juga berteori bahwa kunci dari estetika adalah
interaksi antara subjek dengan objek. Karya seni itu seperti media untuk
menyampaikan identitas manusia ke dalam objek duniawi. Sehingga manusia, sebagai
subjek yang dimaksud, merupakan bagian yang jauh lebih besar dibanding
keberadaan mereka sendiri dalam objek estetika.[13]
B.
Sejarah
Perkembangan Estetika
Sejarah
perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan estetika di Barat
yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini dikarenakan estetika telah
dibahas secara terperinci berabad-abad lamanya dan dikembangkan dalam
lingkungan Filsafat Barat. Hal ini bukan
berarti di Timur tidak ada pemikiran estetika.
Secara garis besarnya,
tingkatan/tahapan periodisasi estetika disusun dalam delapan periode, yaitu: Periode Klasik
(dogmatik), Skolastik, Renaisance, Aufklarung, Periode Idealis, Periode
Romantik, Periode Positifistik dan Kontemporer.
Berikut akan diuraikan tentang periode-periode
tersebut:
1. Periode Klasik (Dogmatik)
Dalam periode ini para filosof yang membahas
estetika diantaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari ketiga
filosof ini dapat dikatakan bahwa Socrates sebagai perintis, Plato yang
meletakkan dasar-dasar estetika dan Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajaran
Plato.
Dalam periode ini ada beberapa ciri mengenai pandangan estetikanya,
yaitu :
a.
Bersifat metafisik
Keindahan
adalah ide, identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan. Keindahan itu mempunyai
tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
b.
Bersifat objektifistik
Setiap benda
yang memiliki keindahan sesungguhnya berad dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi
indah karena mengambil peranannya atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.
c.
Bersifat fungsional
Pandangan
tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (moral),
kesenangan, kebenaran dan keadilan.
a.
Socrates:
468-399SM
Socrates sebagai seorang perintis yang
meletakkan batu pertama bagi fundamen estetika, sebelum ilmu itu diberi nama.
Dia adalah anak dari seorang pemahat yang bernama Sophromiscos dan ibunya
bernama Phainarete adalah seorang bidan
Jalan pikiran
yang dipergunakan Socrates dalam mencari hakekat keindahan ialah dengan
menggunakan cara dialog. Socrates menamakan metodenya ”maeutika tehnic
(seni kebidanan)” yang berusaha menolong mengeluarkan
pengertian-pemgertian atau kebenaran. Socrates mencoba mencari pengertian umum
dengan jalan dioalog.
Dalam dialog-dialognya Socrates membuka
persoalan dengan mempertanyakan sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu
disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah itu memiliki keindahan? Lantas
apakah keindahan itu? Disini Socrates
mencoba merumuskan arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.
Menurut Socrates, keindahan yang sejati itu ada
di dalam jiwa (roch). Raga hanya merupakan pembungkus keindahan.
Keindahan bukan merupakan sifat tertentu dari suatu benda, tetapi sesuatu yang
ada dibalik bendanya itu yang bersifat kejiwaan.
b.
Plato: 427-347SM.
Menurut Plato (Wadjiz Anwar, 1980) keindahan
itu bertingkat., untuk mencapai keindahan yang tertinggi (keindahan yang
absolut) melalui fase-fase tertentu.
Fase pertama, orang akan tertarik pada suatu
benda/tubuh yang indah. Disini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk
keindahan keragaan (indrawi) tidak dapat memberikan kepuasan pada jiwa kita.
Setelah kita sadar bahwa keindahan dalam benda/tubuh itu hanya
pembungkus yang bersifat lahiriah, maka kita tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal
yang lahiriah. Manusia akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku
hal yang dicintai, yaitu pada norma-norma kesusilaan (noma moral) secara
konkrit. Hal ini terlihat dalam tingkah laku dari orang/hal-hal yang kita
cintai.
Dalam fase kedua, maka kecintaan terhadap norma
moral secara konkrit ini berkembang menjadi kecintaan akan norma
moral secara absolut yang berupa ajaran-ajaran tentang kesusilaan/bagaimana
seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.
Dalam fase ketiga, orang akan mengetahui jurang
yang memisahkan antara moral dan pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk
mencari keindahan dalam berbagai pengetahuan. Orang Yunani dulu berbicara
tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Kalaui manusia
sudah sampai pada fase yang ketiga ini maka akan mengantarkan manusia pada
fase yang keempat yaitu keindahan yang mutlak/absulut.
Disinilah orang berhasil melihat keindahan
mutlak, yang sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tingggi. Dan
disinilah segala sesuatu berasal dan kesitu pula segala sesuatu
harus kembali.
c. Aristoteles:
384-322 SM.
Keindahan dianggap sebagai suatu kekuatan yang memiliki
berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah. Dalam bukunya
Poetics, Aristoteles mengatakan ”untuk menjadi indah, suatu makhluk
hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian harus tidak hanya
menyajikan suatu ketertiban tertentu dalam pengaturannya dari bagian-bagian,
melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang pasti. Menurut Aristoteles
unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah suatu
ketertiban dan suatu besaran/ukuran tertentu.[14]
2. Periode
Skolastik
Dalam sejarah Filsafat Barat abad pertengahan adalah masa
timbulnya filsafat baru. Hal ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh
bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya yang umumnya pemimpin gereja atau
penganut Kristiani yang taat. Filsafat abad pertengahan ini dikenal dengan
sebutan Filsafat Skolastik.
Dalam abad pertengahan ini masalah theologia mendapat
perhatian utama dari para filosof.
Masalah estetika
dikemukakan oleh Thomas Aquinas: 1225-1274. Filsuf ini adalah
pengagum Aristoteles. Menurut Thomas Aquinas keindahan itu terdapat dalam 3
kondisi, yaitu :
1. Integrity
or perfection (keutuhan atau kesempurnaan)
2. Proportion
or harmony (perimbangan atau keserasian)
3. Brightness
or clarity (kecermelangan atau kejelasan)
Munurut Thomas Aquinas, hal-hal yang cacat (tidak utuh,
tidak sempurna) adalah jelek, sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang atau
terang adalah indah. Tiga unsur keindahan itu oleh para ahli modern disebut
kesatuan, perimbangan dan kejelasan.
3. Periode
Renaissance
Kata Renaissance berarti
kelahiran kembali, yaitu membagun kembali semangat kehidupan klasik Yunani dan Romawi
dalam bidang ilmu pengetahuan dan seni. Gerakan pembaharuan ini dilakukan
terutama oleh para humauis Italia yang dimulai kurang lebih abad ke XIV.
Gerakan ini hampir disegala bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan
filsafat. Tetapi yang paling semarak gerakan ini adalah
pada bidang seni.
Pada periode ini masalah seni menjadi titik perhatian.
Uraian mengenaai estetika secara luas ditulis oleh Massilimo Visimo, sedangkan
penulis-penulis lainnya banyak mengulas teori-teori seni. Leon Batista dan
Albert Durer dalam bidang seni rupa,Giosefe Zarlino dan Wincenzo Galilei dalam
bidang musik,serta Lodovia Castelvetro dalam bidang puisi.
4. Periode
Aufklarung
Pencerahan merupakan
gerakan lanjutan dari Renaissance. Dalam periode ini masih terlihat pengaruh rationalisme
Descartes dan Empirisme Bacon dalam pembahasan Estetika.
Baumgarten (Alexander Gotlieb Baumgarten), dia seorang
filsuf Jerman yang hidup tahun 1714-1762. dialah orang pertama yang
memperkenalkan istilah ”estetika” sebagai ilmu tentang seni dan keindahan.
Baumgarten membedakan pengetahuan itu menjadi 2 macam:
1. Pengetahuan intelektual
(intellectual knowledge)
2. Pengetahuan indrawi (sension
knowledge)
Pengetahuan intelektual itu disebut juga pengetahuan tegas,
sedangkan pengetahuan indrawi dianggap sebagai pengetahuan kabur. Estetika
adalah ilmu tentang pengetahuan indrawi yang tujuannya adalah keindahan. Tujuan
daripada keindahan adalah untuk menyenangkan dan menimbulkan keinginan.
Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada alam, maka tujuan utama dari
seni adalah mencontoh alam.
Pengaruh Empirisme Bacon
nampak dalam hal imajinasi rasa estetis atau cita rasa. Hal
ini terlihat dalam pendapat Edmund Burke dan Lord Kaimes. Menurut Edmud Burke
(1729-1798) masalah selera itu tidak dapat dijadikan hakim dalam keindahan .[15] Sedangkan Lord Kaimes dalam karyanya
Elements of Criticism yang terbit pada tahun 1961 sependapat dengan Burke.
Keindahan adalah sesuatu yang dapat menyenangkan selera. Dia mengemukakan suatu
titik tolak baru, bahwa pengalaman mengenai suatu emosi walaupun sangat
pedih seperti emosi takut atau kesengsaraan adalah menyenangkan.
Emosi yang menyedihkan adalah menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana
alam adalah menyedihkan, tetapi menyenangkan bila kita melihatnya
dipanggung sandiwara atau dalam seni film. Kejadian yang paling dahsyat dan
mengerikan justru paling mengesankan dan menggembirakan bila diingat. Keindahahan
ialah menyenangkan. Oleh karena itu keindahan ditentukan oleh selera
semata-mata.
5. Periode
Idealis
Sejalan dengan perkembangan filsafat,
idealisme mempengaruhi pendangan estetika di Jerman. Immanuel Kant merupakan filsuf pertama yang
mengemukakan teori estetika dari pandangan objektif. Maka penyelidikan estetika
berubah, dari penelaahan ontologis beralih ke bidang ilmu jiwa, yang sebelumnya
telah dirintis oleh rationalime dan empirisme.
Filsuf-filsuf yang termasuk dalam peroide ini diantranya
adalah: Immanuel kant, Schiler, Scheling dan Hegel.
a. Immanuel
Kant:1724-1804
Estetika Kant berdasarkan pada ajaran bahwa manusia itu
mempunyai pengetahuan tentang ”nature di luar dirinya” dan ”dirinya di dalam
nature”[16]
Pada ”nature di luar dirinya”, manusia mencari kebenaran dan
pada “dirinya di dalam nature”, manusia mencari kebaikan yang pertama. Kebaikan
yang pertama ini merupakan “pure reason” dan kebaikan yang
kedua merupakan “practical reason” (free will). Disamping itu, masih ada lagi
yaitu kemampuan untuk memberi keputusan (judgement) ialah yang membentuk
putusan tanpa pamrih dan menghasilkan kenikmatan tanpa keinginan. Keindahan
dalam seni mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia dalam menilai karya
seni yang bersangkutan. Kemampuan ini disebutnya dengan istilah “cita
rasa” (taste).
Immanuel Kant membedakan adanya dua macam keindahan, yaitu
keindahan bebas (pulchritudevoga) dan keindahan bersyarat yang semata-mata
tergantung (pulchritudo adhaerens).[17]
Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi tentang bagaimana seharusnya
benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan natural ada perbedaan dalam penilaian
tentang selera terhadap bunga itu, bagi botani dan yang bukan botani. Disamping
bunga, ia juga menunjukkan barang-barang sebagai contoh (burung betet, burung
cendrawasih, humming bird) dan keong-keong laut.
Keindahan yang semata-mata tergantung (pulchritudo
adhaerens) membutuhkan konsep demikian serta penyempurnaan benda itu sesuai
dengan konsepnya (keindahan bersyarat), yang tergantung pada konsep-konsep yang
berasal juga dari sebuah konsep yang mempunyai tujuan tertentu.
Dari keindahan natural ia melangkah ke keindahan artistik
dengan memberikan contoh hiasan-hiasan tepi atau kertas hiasan dinding dan
fantasi-fantasi musik[18].
Hubungan antara keindahan natural dan keindahan artistik
ternyata mengalami kontradiksi-kontradiksi. Immanuel Kant memandang artis
(seniman) sebagai seorang yang dilengkapi dengan imajinasi yang juga merupakan
pusat produksi ilmu pengetahuan, seperti halnya “talent” (bakat natural) yang
mempengaruhi (memperkarsai hukum-hukum seni. Karena talent yang
merupakan pusat produksi seorang artis yang dibawanya sejak lahir itu sendiri
sebagai bagian dari nature. Menurut Immanuel Kant genius adalah talent, genius
adalah disposisi mental yang memang ada sejak lahir (ingenium) dan
melaluinyalah alam (nature) memberikan hukum-hukum seni. Bagi Immanuel Kant,
genius seorang artis tidak dapat sejajar dengan selera murni dan karenanya
merupakan preposisi sebuah konsep yang pasti tentang karyanya sejauh karya itu
mempunyai tujuan.[19]
Berdasarkan teorinya tentang keindahan bebas, Immanuel Kant
dapat dianggap sebagai perintis seniman anti-konsep yang sekarang termasuk
aliran abstrak. Immanuel Kant berusaha unutk mengkoeksistensikan antara
keindahan natural dengan keindahan bersyarat dan mensejajarkan dari bentuk
nyata tentang keindahan dan seni, ternyata hasilnya sampai pada keraguan
yang gersang. Immanuel Kant memaksakan pertentangan antra keindahan
bersyarat dengan keindahan bebas. Konsekuensi dualisme ini ialah dalam menilai
keindahan yang murni, maka penilaian terhadap selera juga murni, sedangkan
sebuah penilaian tentang selera yang terkait pada sebuah obyek ,yang mempunyai
tujuan inti tertentu.
Analisa tentang penilaian estetis dibagi menjadi 2, yaitu:
analisa tentang keindahan analisa tentang keagungan
Pada analisa tentang keindahan, pandangan Immanuel Kant
memaparkannya dalam 4 pertimbangan yaitu: berdasarkan pada segi kualitas,
kuantitas, hubungan dan modalitas.
a. Pertimbangan dari segi kualitas
Keindahan ialah kesenangan total
yang terjadi tanpa konsep.
b. Pertimbangan dari segi kuantitas
Keindahan berwujud tanpa konsep,
sebagai objek dari pemuasan hidup yang mendesak.Keindahan merupakan
suatu kesenangan yang menyeluruh.
c. Pertimbangan dari segi hubungan
Putusan selera bersandar pada
prinsip-prinsip dasar yang bebas dari daya tarik dan emosi serta bebas dari
konsep kesempurnaan.Hal ini berarti bahwa keindahan ialah konsep tentang adanya
tujuan pada objek, tetapi tujuan itu tidak terwujud dengan tegas.
d. Pertimbangan dari segi modalitas
Putusan selera menurut kesenangan
yang timbul dari objek tertentu.Kesenangan merupakan keharusan subjektip,tetapi
berwujud dalam bentuk objektip ketika dicerap oleh indera manusia.Keindahan
ialah apa yang diakui sebagai objek pemuasan darurat yang tidak berkonsep[20].
Analisanya tentang keagungan terdapat adanya perbedaan
antara keindahan dan keagungan. Keindahan termasuk putusan selera sedangkan
keagungan mempunyai akar di dalam kecerdasan (geistesgefuehl). Keindahan
selamanya bertalian dengan bentuk (forma), sedangkan keagungan ada kalanya
bergantung kepada forma dan non forma yang menyangkut tidak adanya forma dan
cacat. Kant membedakan antara dua bentuk keagungan,bentuk matematis yang statis
dan bentuk dinamis.[21]
b.
Hegel ; 1770-1831.
Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan merupakan
suatu moment (unsur dialektis) dalam perkembangan roh (Geist,
spirit) menuju kesempurnaan. Hal itu dapat ditemukan dalam pengalaman
manusia. Kedudukannya diambang antara yang jasmani dan yang rohani (materi
menuju roh, roh menjelma dalam materi tepat pada saat peralihan yang bermuka
ganda itu dialami) dan bukan itu saja, karena sekaligus merupakan moment atau
saat kebenaran (pengertian) dan kebaikan (penghendakan) bersentuhan satu sama
lain (maka tidak wajar masalah ”arti” atau ”nilai etis” dikemukakan dalam
konteks kesenian). Moment itu tidak pernah dialami atau dapat ditunjukkan dalam
bentuk yang ”sempurna”, hanya dalam bentuk ”penyimpangan-penyimpangan yang
indah” dari moment keseimbangan penyentuhan atau peralihan itu. Dengan demikian
muncullah kategori-kategori estetis, seperti ”yang sublim (roh 'menang' atas
materi)”, ”yang lucu” atau ”yang humor” (arti 'menang' atas nilai), ”yang
jelita” atau ”gracious” (nilai 'mengalahkan' arti), tentu saja semua itu dalam
batas keindahan itu sendiri, malahan yang sublim mempunyai unsur tragisnya dan
sebaliknya, yang lucu dan yang jelita, yang pertama dilihat juga sebagai yang
mewakili kepriaan, yang kedua kewanitaan[22].
Karya seni merupakan bidang dimana keindahan mempunyai
manifestasi yang khusus. Karya seni menunjukkan kemampuan manusia menangkap
keindahan alam dan merupakan kesaksian tersempurna mengenai fakta bahwa manusia
mengintuisi keindahan, karena kalau manusia secara khusus mempunyai intuisi
yang tidak mati mengenai keindahan, ia mengungkapkannya dalam karya seni.
Kelebihan seniman bahwa ia mempunyai kemampuan mengungkapkan, karena ia
terlibat lebih banyak dari pada yang kita lihat.[23]
Bagi Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan
memiliki bakat alami, maka bakat itu harus direnungi dan dikembangkan lewat
kerja praktek dan penguasaan keterampilan menampilkan sesuatu. Jika genius
harus dapat menampilkan sesuatu yang original, maka artinya sama saja dengan
menampilkan yang obyektif. Agar bisa original dan obyektif, maka yang
bersangkutan harus memiliki kebebasan dalam mencipta. Kebebasan itu ditunjukkan
oleh kamampunanya mengobyektifikasi imajinasinya lewat medium dan teknik yang
serasi, yang akan membawanya kepada tujuan yang ingin dicapai. Mencipta karya
seni dan menghayatinya dalam medium seperti itu boleh dilihat sebagai upaya
agar tidak terjadi ”pengendapan” perasaan. Yang inderawi itu harus menjadi
wadah obyektifikasi roh. Seni mengacu kepada perasaan, disamping kepada
imajinasi[24].
Kebenaran dan keindahan menurut Hegel adalah satu dan dari
hal yang sama. Bedanya hanya terletak pada kebenaran adalah idea itu sendiri
dan adanya ada dan pada idea itu sendiri dan dapat difikirkan. Manifestasinya
keluar, tidak hanya kebenaaran saja, tetapi juga keindahan.
6.
Periode Romantik
Aliran romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang
mendewakan rasio. Kini perasaan menjadi dominan. Kalau sebelumnya sang seniman
tunduk pada kaidah-kaidah yang ketat, kini sang seniman berdaulat dengan
merdeka, asal meluapkan secara spontan dan otomatis emosi-emosinya.
Aliran inidirintis oleh J.J Rousseau yang hidup pada
pertengahan abad ke-XVIII. Rousseau bertitik tolak pada suatu pandangan dasar,
yaitu bahwa alam murni itu baik dan ndah sehingga segala sesuatu yang
dekat pada alam murni juga baik dan indah[25]
Dalam hal seni Roesseau berpendapat bahwa bakat alam
hendaknya dikembangjan secara bebas, jangan sampai datur oleh macam-macam teori
dan guru. Asal, emosi yang spontan diluapkan maka hasilnya pasti indah.
Pada tingkat awal, gerakan romantik berada pada pemikiran
Schellingdan bentuk-bentuk baru kesusastraan baru di Jerman dan Inggris pada
tahun 1890-1891. Ada 4 hal yang menjadi pusat perhatian dari penulis-penulis
estetika pada periode ini adalah: ekspresi, imajinasi, organisasi dan
simbolisasi.
Salah seorang filsuf besar pada periode ini adalah Arthur
Schopenhauer dan Nietzche. Menurut Schopenhauer, hakekat yang
terdalam dari kenyataan adalah kehendak (karsa). Dalam diri
manusia, kehendak yang bersifat itu tidak dapat dipuaskan. Sebagai
akibatnya manusia mengalami kesengsaraan. Untuk mengatasi keadaan itu, tersedia
dua jalan yaitu jalan etis dan estetis. Jalan etis yaitu dengan berbuat dan
bertingkah laku baik sedangkan jalan estetis, dengan menikmati kesenian khusususnya
musik. Tetapi musik hanya dapat dinikmati dan melupakan kesengsaraan yang
sementara.
Jika kehendak itu memilukan atau kehendak untuk hidup itu
menyedihkan, maka seni adalah hiburan yang terbaik dan merupakan tempat
istirahat yang terjamin. Disatu pihak,
seni membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah, tetapi dipihak lain
ia juga mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan krisis-krisis dalam
hidup.
7.
Periode Positifistik.
Dalam periode ini estetika dipelajari secara empiris dan
ilmiah yang berdasarkan pengalaman-pengalaman riil yang nyata dalam kehudupan
sehari-hari. Estetika dibahas dalam hubungannya dengan ilmu lain, misalnya
psikilogi dan matematika.Para filsuf yang membahas estetika diantaranya
Fehner,George Birkhof, A.Moles dan Edward
Bullough .
a.
Gustaf T.Fecner (1801-1887 )
Dia berpendapat bahwa estetika yang dikembangkan oleh para
filsuf sebelumnya sebagai estetika ''dari atas''.[26]
Fechner berpendapat bahwa sebaiknya estetik itu dihampiri ''dari bawah'' dengan
mempergunakan pengamatan secara empiris dan percobaan secara laboratorium
terhadap sesuatu hal yang nyata. Metode yang dipakainya adalah metode
Experimentil. Tujuan yang ingin dicapai adalah berusaha untuk menemukan
kaidah-kaidah/dalil-dalil mengapa orang lebih menyukai sesuatu hal yang indah
tertentu, dan kurang menyukai yang lain.
b.
A.Moles
Percobaan-percobaanng dilakukan menunjukkan bahwa
proses-proses dalam otak manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat struktural dari
pola-pola perangsang seperti misalnya : sesuatu yang baru, sesuatu yang rumit
dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang merangsang ini dapat dipandang
sebagai unsur-unsur penyusun dari bentuk atau struktur seni.
c.
Edward Bullough
Dia menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap dengan
melakukan penyelidikan terhadap apa yang dinamakan kesadaran estetis (aesthetic
consciousness).[27] Psikoanalisa
dengan teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa karya seni sebagai mana
halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan dari keinginan manusia
yang paling dalam.Keinginan ini memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk
seni dari pada dalam realitas kehidupan biasa.Penggunaan hasil-hasil dari ilmu
jiwa anak (child psychology) dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan
yang memadai mengenai pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni.Dorongan
batin ini mencakup semua dinamika kejiwaan yang tidak bersifat
intelektualistis, misalnya hasrat untuk meniru, kecenderungan untuk memamerkan,
kesediaan untuk menyenangkan pihak lain, keinginan bermain-main, pemanfaatan
energi yang berlebihan dan peluapan perasaan yang ada
dalam diri setiap orang.Dalam periode positifistis
ini, walaupun pembahasan estetika sudah bersifat ilmiah, tetapi bukan berarti
bahwa pendekatan secara filsafati sudah tidak dipergunakan lagi.
8. Periode
Kontemporer.
Dalam periode ini, muncul sejumlah pandangan estetika dalam
waktu yang relatif bersamaandan sampai kini masih banyak pengikutnya.Pandangan
estetika yang banyak ini (multi isme), tumbuh pada awal abad ke 19 dan menjadi
lebih semarak lagi pada abad ke 20. berikut ini tujuh pandangan yang menonjol
dalam periode ini.
a. Seni untuk seni (lárt pour l'art)
Semboyan L'art pour L'art yang termashur ini
pertama kali dipergunakan oleh seorang filosof Victor Cousin (1792-1867).
Pandangan ini menganggap bahwa seni merupakan deklarasi artistik yang
independen sebagai suatu tanggung jawab professional. Seniman ditempatkan
sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari kepentingan masyarakat.
Tujuan seni hanya untuk seni, tidak mengabdi kepada kepentingan politik,
ekonomi, sosial dan agama. Pandangan ini merupakan suatu reaksi terhadap
kondisi pada waktu itu untuk mengembalikan kemurnian status seni.
b. Realisme
Realisme menganggap bahwa karya seni
harus menampilkan kenyataan yang sesungguhnya, seperti sebuah gambar
reproduksi (seperti photo). Salah seorang tokoh dari pandangan ini ialah
Nicolay C. Chernyshevski dengan karyanya The Aestheics Relation or Art to
Reality (1865).
c. Sosialisme (Tanggungjawab sosial)
Suatu pandangan yang sangat bertentangan dengan pandangan
seni untuk seni, bahwa seni merupakan kekuatan
sosial dan refleksi dari kenyataan sosial. Seniman adalah bagian dari masyarakat dan mempunyai
tanggungjawab sosial.
Estetikus terbesar yang termasuk dalam pandangan
ini ialah Nikkolayevitch Tolstoy (1982-1910). Di dalam karyanya yang
terkenal what is art (1898) Tolstoy mengulas persoalan seni
dan keindahn secara lebih luas. Menurut Tolstoy, dalam arti subyektif, apa yang dinamakan
keindahan adalah apa yang memberikan kita suatu kenikmatan atau kesenangan.
Sedangkan dalam arti obyektif, keindahan adalah sesuatu yang absolut dan
sempurna, karena kita menerima manifestasi dari kesempurnaan tersebut. Bagi
Tolstoy seni yang ialah seni yang dapat memindahakna perasaan arus hidup
manusia scara sama dan seirama. Nilai-nilai agama dianjurkan dalam ekspresi
seni, kaena persepsi keagamaan tidak lain adalah gejala pertama dari manusia
dengan dunia sekitarnya. Tolstoy telah membahas estetika dari sudut kekristenan
yang penuh kritik terhadap kepincangan sosial, negara, gereja dan kebodohan
kaum bangsawan.[28]
d. Ekspresionisme
Estetikus Benedetto Croce (1866-1952) telah
meninggalkan pengaruh besar pada abad ke 20 ini. Pandangannya ditulis dalam bukunya Aesthetics as
Science of Expression and Generale Linguistic (1902).
Menurut Groce, Estetika ilmu tentang image atau
sebagai pengetahuan intuitif dan bersifat objektif. Bagi Crocekeindahan
tergantung pada keinginan imajinasi, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami
serta mengalami hasil kegiatan intuisi dalam bentuknya yang murni. Croce
termasuk penganut “seni untuk seni”. Seni tidak benar kalau dicampuri oleh
berbagai kepentingan,misalnya ilmu pengetahuan,hiburan ataupun moral.
e. Naturalisme
Pandangan estetika naturalisme para filosof Amerika lebih
menekankan pada ketenangan hidup untuk kelangsungan budaya manusia.
Salah satu tokohnya George Santayana. Dia berpendapat bahwa
nilai keindahan terletak pada hasrat alami untuk mengalami keselarasan sosial
dan untuk merenungkan keindahan menciptakan moralitas, seni, puisi dan agama,
yang ada dalam imajinasi dan berusaha untuk mewujudkan secara konkret dengan
tindakan, kombinasi dari esensi-esensi dan semata-mata ideal. Estetika
berhubungan dengan penceraapan nilai-nilai. Keindahan sebagai nilai intristik
dan diobjektifkan, artinya sebagai kualitas yang ada pada suatu benda.
f. Marxisme
Marxisme telah memberikan pengaruh kepada para estetikus
terutama di negara-negara sosialis dan komunis. Prinsip dasar estetikanya ialah
seni dan semua kegitan manusia yang tertinggi merupakan budaya
"super struktur" yang ditetapkan oleh kondisi sejarah masyarakat,
terutama kondisi ekonomi.
Estetika Rusia Georgi V. Plekaniv dalam bukunya Art and
Social Live (1912), mengembangkan estetika
materialisme dialektika dan menyerang doktrin “seni untuk seni” yang telah
berkembang di Eropa.
g. Eksistensialisme
Pandangan mengenai kekuatan otonomi sebagai
kualitas obyektif yang ada dalam dirinya sendiri telah dicetuskan oleh para
filosof Eksistensialisme.
J.P. Satre membedakan antara obyek estetik
dengan benda-benda lainnya di dunia. Perbedaannya terletak pada "ekspresi
dunia", bahwa setiap benda estetis secara personal adalah "ada dalam
dirinya sendiri" (pour soi). Dalam hal ini Satre telah memberikan jalan
untuk adanya suatu konsep tentang "kebenaran otentik" dari eksistensi seni.
C. Teori Pengalaman
Estetik
Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalaman estetik adalah
semacam jatuhnya wahyu, artinya bahwa dengan menerima wahyu berarti kebekuan
rohani kita tersingkirkan, sehingga kita dapat melihat kenyataan dengan suatu
cakrawala yang meluas. Menurut Nayaka, hakekat rasa bukanlah menirunya,
melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego seseorang dan menjadikannya
pengalaman umum. Lewat penglaman estetika rasa yang diwahyukan itu bukan
persepsi akal budi, melainkan suatu pengalaman yang penuh
kebahagiaan, akhirnya kesadaran pribadi melenyap, maka ia akan sampai pada
Brahma Tertinggi[29].
Menurut Sankuka yang hidup pada abad ke 10, berpendapat
bahwa pengalaman estetis berada di luar bidang kebenaran dan ketidak benaran.
Pendapat ini jika dibandingkan dengan pemikiran estetika di Barat, mirip dengan
pendapat Immanuel Kant. Pendapat Sankuka ini dikritik oleh Abhinavagupta, yang
menyatakan bahwa bila hidup nyata ditiru, efeknya bukan kenikmatan estetik,
tetapi suatu kelucuan belaka.
Bagi Immanuel Kant alam merupakan sumber utama bagi
pengalaman estetik.[30] Immanuel Kant membedakan putusan estetik dari
putusan cognitif semata-mata disatu pihak dan putusan moral dilain pihak. Pengalaman estetik itu tidak
hanya ingin tahu (bersifat cognitif), tetapi mengikut sertakan
daya-daya lain dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian emosi,
bahkan seluruh diri kita.[31]
Dalam hal mempertahankan pengalaman estetik berbeda dengan
pengalaman moral. Dalam keyakinan moral, kalau kita yakin bahwa suatu perbuatan
jahat,maka kita sanggup mempertaruhkan nyawa kita, lebih baik mati dari pada
berbuat serong.Dalam pengalaman estetik walaupun menyangkut seluruh diri kita,
namun untuk mempertahankan suatu penilaian estetik kita tidak sanggup
mempertahankan nyawa kita[32].
1. Pengertian
Pengalaman Estetik
Pengalaman estetik adalah tanggapan seseorang terhadap benda
yang bernilai estetis. Hal ini merupakan persoalan psikologis sehingga
pendekatan penelaahan menggunakan metode psikologi. Ada tiga pengertian yang
dapat dirangkum daripara ahli, yaitu :
a. Pengalaman estetis terjadi karena
adanya penyeimbangan antara dorongan dorongan hati dalam menikmati karya seni.
b. Pengalaman estetis adalah suatu
keselarasan dinamis dari perenungan yang menyenangkan, menimbulkan
perasaan-perasaan seimbang dan tenang terhadap karya seni yang diamatinya atau
terhadap suatu objek yang dihayatinya,sehingga tidak merasa ada dirinya
sendiri.Pengalaman estetis jenis ini berhubungan dengan pengalaman mistis.
c. Pengalaman estetis adalah suatu
pengalaman yang utuh dalam dirinya sendiri tanpa berhubungan dengan sesuatu
diluar dirinya, bersifat tidak berkepentingan (disinterested) dari pengamatan
yang bersangkutan. Pengalaman tersebut adalah pencerapan itu sendiri dan
merupakan nilai intrinsik.
John Hospers menyebut perbuatan yang demikian ini mencerap
demi pencerapan (perceive for perceiving's) atau juga pencerapan demi untuk
pencerapan itu sendiri (perceiving for its own sake) dan tidak untuk keperluan suatu
maksud yang lebih jauh.[33]
- Teori Jarak Psikis (psyhical distance) dari E. Bullough
Teori ini ditulis
dalam bukunya yang berjudul “Psyhical Distance as factor in Art and
Aesthetic Principle”. Bullough mempergunakan metode introspeksi dari
psikologi yakni pengamatan diri dengan jalan merenungkan pengalaman-pengalaman
sendiri. Bullough berpendapat bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang
berhubungan dengan seni, orang justru harus menciptakan jarak psikis diantara
dirinya dengan hal-hal apapun yang dapat mempengaruhi dirinya itu. Hal-hal yang
dapat mempengaruhi diri seseorang misalnya adalah segi-segi kegunaan dari
sesuatu benda untuk keperluan/tujuan orang itu. Kebutuhan dan tujuan praktis itu
harus dikeluarka agar perenungan dan tinjauan seseorang secara estetis terhadap
bendanya itu semata-mata menjadi mungkin.
- Teori Einfuhlung (teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri ke dalam benda estetis) yang dikemukakan oleh Friederich T. Vischer (1807-1887).
Menurut Vischer seorang pengamat karya seni (benda estetis
apapun) cenderung untuk memancarkan (memproyeksikan) perasaannya ke dalam benda
itu, menjelajahi secara khayal bentuk dari benda tersebut dan dari kegiatan itu
menikmati sesuatu yang menyenangkan.
Teori ini dikembangkan oleh Lipps di dalam
bukunya Aesthetic yang terdiri 2 jilid. Dalam garis besarnya
teori Lipps menyatakan bahwa kegiatan estetis adalah kegiatan seseorang yang
dari situ timbul suatu emosi estetis khas yang terjadi karena perasaan itu
menemukan suatu kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif
dari karya seni tersebut. Nilai dari tanggapan objektif orang tergantung pada
kwalitas objektif dari benda estetis yang bersangkutan.
Teori Lipps ini dalam buku E.F Carritt (The Theory of
Beauty) dirumuskan sebagai kesenangan estetis adalah suatu kenikmatan dari
kegiatan kita sendiri didalam suatu benda. Pernyataan ini yang kelihatannya merupakan suatu pertentangan dalam
kata-kata, sebagaimana diterangkan berarti bahwa kita menikmati diri kita
sendiri bilamana diobjektifkan atau menikmati suatu benda sejauh kita hidup di
dalamnya[34].
- Rintangan Pengalaman Estetik
Dalam pengalaman estetik, mengalami hambatan jika di dalam
diri si pengamat terdapat sikap:
a) Sikap Praktis: apabila seseorang
mengamati pemandangan yang indah dengan tujuan untuk kepentingan praktis,
misalnya membangun hotel, rumah makan dan lain-lain.
b) Sikap ilmiah: apabila seseorang
mendengarkan lagu klasik yang diselidiki adalah asal usulnya, diciptakan oleh
siapa, dimana dan kapan lagu itu dibuat.
c) Sikap melibatkan diri: apabila
seseorang mempersamakan nasipnya dengan nasip seseorang yang ada dalam buku
novel yang baru saja ia baca atau fim yang baru saja ia tonton.
d) Sikap emosional: apabila ada
seseorang terdapat hasrat yang menyala-nyala untuk menikmati karya seni, atau
kesadaran diri yang berlebih-lebihan dalam penikmatan itu.
Menurut Stephen Pepper, musuh-musuh daripada pengalaman
estetis adalah adanya kesenadaan (monoton) dan kekacau-balauan (confusion). Dan
hal yang merusak pengalaman estetis itu, dalam karya seni yang baik, harus
diusahakan adanya keanekaan (variety) dan kesatuan (unity) yang seimbang.[35]
D. Perwujudan
Keindahan
Ada banyak keindahan di dunia ini. Manusia suka
dengan keindahan, dari keindahan tersebut maka manusia
mengapresiasikannya menjadi berbagai bentuk “nilai”. Dalam
perkembangannya nilai-nilai yang terkandung dalam keindahan tersebut membuat
suatu kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti. Dari berbagai bentuk
keindahan yang ada, maka keindahan tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa
perwujudan, yaitu:
Keindahan alam, seni, moral, intelektual dan absolut (mutlak).
Berikut akan diuraikan tentang ke
lima keindahan tersebut.
1.
Keindahan alam
Keindahan alam menampakkan diri pada :
a.
Keselarasan (harmony)
b.
Ketakselarasan yang luar biasa (extreme disharmony)
c.
Kewarna-warnian (coloruful)
d.
Ketenangan (calm, idyllic)
e.
Keluasan tak terpahami
Keindahan alam dapat bertalian dengan bentuk, ukuran,
perimbangan dan warna.
Menurut Eric
Newton : hal-hal yang indah dalam alam merupakan suatu
hasil dari perilaku alam dan perilaku itu mematuhi hukum-hukum tertentu. Hasil
perilaku itu menampakkan diri dalam suatu pola dan pola-pola yang
rumit itu akan terjadi/tercipta bilamana terjadi interaksi dari berbagai
fungsi. Pola yang rumit itu dapat pula mewujudkan
keindahan alamiah.
Adapun perbedaan antara keindahan alam dan karya seni dapat
diuraikan seperti berikut ini:
Keindahan
alam
a.
Hanya salah satu atribut dari alam, karena alam diciptakan
untuk berbagai kemanfaatan.
b.
Sukar dinikmati secara estetis saja, karena memungkinkan
pertimbangan-pertimbangan lain.
c.
Dalam menyerapan keindahan alamiah, pengamat memindahkan
perasaannya kepada benda alam yang bersangkutan.
d.
Keindahan alamiah merupakan hasil tambahan dari fungsi pada
sesuatu benda alam.
Keindahan
seni
a. Merupakan
asensi dari karya seni
b. Khusus
diciptakan untuk dinikmati nilai estetisnya tanpa banyak pertimbangan lain.
c. Dalam
mencipta karyanya, seniman memindahkan perasaan estetis pada benda
ciptaannya untuk kemudian diteruskan kepada si pengamat.
d. Keindahan
seni merupakan hasil dari cinta seniman dan pemahamannya terhadap pola alam.
2.
Keindahan dalam Seni
Pada jamanYunani bentuk keindahan dalam karya seni terdapat pada
unsur: symmetria ( untuk seni penglihatan dan harmonia
untuk seni pendengaran).
Secara umum keindahan seni terdapat dalam
: unity, harmony, balance, contras dan disharmony.
3.
Keindahan Moral
Keindahan moral terdapat pada Ide kebaikan
:menurut Plato terdapat pada watak yang indah dan hukum yang indah.
Keindahan
moral juga mempunyai arti sesuatu yang baik.dilihat dari segi tingkah laku.
4.
Keindahan Intelektual
Plotinus berpendapat bahwa keindahan
moral terdapat pada: ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Keindahan intelektual juga berarti
;buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah.
5.
Keindahan Absolut (mutlak)
a.
Ada pada Tuhan
b.
Tuhan itu indah dan menyengi hal-hal yang indah
c.
Tugas seniman adalah untuk lebih mendekatkan diri sendiri
dan pengamat pada Tuhan
E.
Unsur-Unsur
Estetika Indonesia
Konsep (pemikiran) tentang keindahan di
Indonesia sudah ada pada jaman dahulu, pada waktu kehidupan manusia masih
primitif. Secara sadar atau tidak, mereka sudah memberi hiasan pada perabot
rumah tangga, alat pertanian, alat berburu, dan menghias dirinya bila ada
kegiaatan yang dianggap penting(berburu, upacara adat, pemilihan kepala suku).
Walaupun masih sangat sederhana, hiasan itu tidak sekedar umsur
pelengkap/penghias belaka, tetapi mengandung unsur magis yamg dianggap
sakral.
Hal ini nampak dalam perilaku mereka yang menghiasi wajah
ataupun tubuhnya dengan goresan-goresan berwarna hitam dan putih (tolak bala)
bila mereka akan melakukan pekerjaan yang dipandang mempunyai makna, maksud dan
tujuan yang dianggap mulia. Mereka juga menghias senjatanya bila akan berburu
dengan maksud dan tujuan memberikan kekuatan magis pada senjatanya itu agar
hasil buruannya dapat bermanfaat bagi keluarganya. Dalam upacara keagamaan
mereka membuat sesaji, berdoa, berpakaian dan menghias diri, bernyanyi, menari
dan memukul gendang.Hal ini menunjukkan bahwa estetika lahir karena pemenuhan
kebutuhan kerohanian. Estetika tradisonal ini dalam perkembangannya tidak sama
antar suku dan daerah, ada yang punah, ada yang mengalami pembauran dan ada
yang mengalami perubahan.
Unsur-unsur estetika Indonesia terkandung dalam seni budaya,
adat-istiadat, dan kegiatan ritual diantaranya secara konkrit terdapat
pada: ragam hias, batik, candi, musik, wayang, seni tari dan upacara adat.
1.
Ragam Hias
Ragam hias tradisional merupakan peninggalan
nenek moyang dan merupakan hasil dari seni budaya bangsa yang mempunyai nilai
tinggi. Dalam motif-motif yang digoreskannya, mengandung makna (arti) yang
dalam. Motif-motif itu biasanya berkaitan dengan pandangan hidup
dari sesuatu daerah/suku bangsa dimana ragam hias itu diciptakan. Oleh karena
itu perlu dicari apa arti (makna) yang tersembunyi di dalamnya dan untuk apa
motif-motif itu dibuat. Dalam ragam hias tradisonal, terkandung unsur-unsur
filsafati yang tercermin dalam bentuknya yang indah dan mengandung makna
simbolis, religius, etis dan filosofis.
Dalam ragam hias itu biasanya menggunakan motif ; fauna,
flora, alam semesta, dan manusia atau gabungan
dari unsur-unsur itu.
Di dalam unsur-unsur itu terkandung makna/ajaran
bagaimana manusia itu seharusnya berbuat dan bertingkah laku yang baik agar selamat di
dunia dan di akhirat.
Ragam hias juga digunakan untuk sengkalan-sengkalan
(sengkalan memed), yang ada pada bangunan-bangunan kraton maupun gapura-gapura,
yang berisi kapan bangungan itu didirikan dan siapa raja yang berkuasa saat
itu.
Dalam perkembangannya ragam hias tradisional perlu
dilestarikan, jangan sampai kehilangan maknanya sehingga yang tinggal hanya
fungsi dekoratifnya saja.
Untuk melestarikan ragam hias tradisional tersebut, ada
tantangan yang perlu untuk diantisipasi diantaranya:
a.
Sikap praktis dan efisien: dengan digunakannya mesin
bubut dan alat bantu yang lain (cap) akan menghemat tenaga dan biaya,
sehingga yang dikerjakan secara tradisional memakan beaya ekonomi tinggi
b.
Sikap kreatif: ragam hias tradisional mempunyai
pola yang baku, sehingga kreatifitas dikawatirkan akan menjadi penghambat
karena akan menghilangkan nilai simboliknya.
c.
Ekonomis: cenderung beaya ekonomi tinggi,sehingga menjadi
kendala.
Oleh karena itu, ragam hias tradisional perlu
dilestarikan, disamping itu, kreasi baru dari para seniman juga wajib
untuk ditingkatkan, karena keduanya merupakan dua hal yang saling melengkapi
dan akan berguna untuk melestarikan seni budaya bangsa.
2.
Batik
Batik sebagai karya seni termasuk seni indah dan seni
berguna yang didalamnya sarat kandungan makna filosofi. Hal ini terdapat
pada Seni batik klasik dan tradisional. Dikatakan dengan istilah
“klasik” karena batik merupakan suatu karya yang bernilai seni tinggi, berkadar
keindahan dan langgeng, artinya tidak akan luntur sepanjang masa. Sedangkan
pengertian “tradisional” bahwa batik dikerjakan dengan cara-cara dan kebiasaan
yang berlangsung secara turun temurun.
Pada awalnya, batik tulis hanya dikerjakan oleh putri-putri
keraton sebagai pengisi waktu luang, kemudian menyebar juga kepada “abdi
dalem” atau orang-orang yang dekat dengan keluarga keratin[36].
Batik sebagai salah satu karya seni budaya bangsa Indonesia
telah mengalami perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Perkembangan yang
terjadi membuktikan bahwa batik sangat dinamis dapat menyesuaikan dirinya baik
dalam dimensi ruang, waktu, dan bentuk. Dimensi ruang adalah dimensi yang
berkaitan dengan wilayah persebaran batik di Nusantara yang akhirnya
menghasulkan sebuah gaya kedaerahan misalnya batik Jambi, batik Bengkulu, batik
Yogyakarta, batik Pekalongan. Dimensi waktu adalah dimensi yang berkaitan
dengan perkembangan dari masa lalu sampai sekarang. Sedangkan dimensi bentuk terinspirasi
dan diilhami oleh motif-motif tradisional, terciptalah motif-motif yang indah
tanpa kehilangan makna filosofinya, misalnya Sekar Jagat, Udan Liris dan
Tambal.
Pada waktu batik tradisional diciptakan tidak lepas dari
pengaruh adat istiadat, kebudayaan daerah maupun pendatang, kepercayaan serta
budaya dalam agama. Pengaruh budaya Hindu terlihat pada motif meru,
sawat, gurda, dan semen yang merupakan simbol-simbol
dalam kepercayaan Hindu. Pengaruh budaya Islam terlihat adanya perubahan,
dimana tidak ada bentuk binatang dan lambang dewa-dewa. Meskipun unsur
simbolisme jaman Hindu tetap ada, tetapi sudah distilir, sehingga menjadi unsur
dekoratif. Pengaruh Tionghoa, batik dengan motif Lok Chan dan Encim. Pengaruh
dari India dengan motif Cinde, Belanda dengan motif Buketan dan Jepang dengan motif Hokokai.
Sedangkan Pengaruh adat terlihat pada batik tulis Irian Jaya dengan ragam hias
suku Asmat. Pengaruh adat juga terlihat pada batik tulis Kalimantan Timur
dengan ragam hias lambang perdamaian suku
Dayak Bahau dan ragam hias Tongkonan
Toraja, Sulawesi Selatan.
Berbicara masalah batik klasik dan tradisional tidak lepas
dari makna simbolik. Menurut Ernst Cassirer, manusia adalah animal
symbolicum makhluk yang dapat mengerti dan menggunakan
simbol-simbol (tanda-tanda).[37]
Manusia juga dapat menciptakan dan memahami makna dari simbol-simbol itu,
sehingga dapat dipakai sebagai norma, penuntun (petunjuk) ke arah tingkah laku
dan perbuatan yang baik.
Batik sebagai karya seni, mengandung makna filosofi yang
menarik untuk diteliti baik dari segi proses, motif, warna, ornament, fungsi
dan nilai dari sehelai batik yang sarat akan kandungan makna simbolik.
3.
Candi
Candi merupakan bangunan suci penganut agama hindu dan
budha. Sebuah
bangunan candi menarik bukan hanya disebabkan candi merupakan bangunan
keagamaan, melainkan mengandung nilai estetis. Nilai ini dapat terlihat pada
kehalusan serta keagungan seni yang terpancar dari bentuk bangunan serta
relief-relief yang melekat atau terpahat pada bangunannya itu. Relief sebagai
media visual memiliki beberapa fungsi, antara lain : sebagai ungkapan historis,
filosofis dan edukatif. Fungsi historis dari suatu relief dapat ditunjukkan
dengan penggambaran candra sengkala, angka tahun suatu
pendirian bangunan,serta prasasti-prasasti. Fungsi filosofis suatu relief
antara lain dapat ditunjukkan lewat penggambaran obyek-obyek yang secara
keseluruhan memiliki makna filsafati yang dalam. Sedangkan fungsi edukatif
ditunjukkan dari arti filosofis penggambaran relief yang berisikan tuntunan
atau pendidikan moral bagi kehidupan manusia. Banyaknya
hiasan yang terdapat pada bagian candi disesuaikan dengan tingkat ketertiban
yang ada di alam semesta. Pada bagian kaki candi, merupakan simbol dari kehidupan
alam nyata dipenuhi dengan bermacam-macam hiasan, tubuh candi yang merupakan
gambaran dari kehidupan alam roh hanya terdapat sedikit hiasan, sedangkan pada atap candi yang merupakan simbol dari
alam dewata hanya terdapat satu macam
hiasan, yaitu hiasan mahkota atau
gentha.
Dalam bangunan
candi, terdapat keindahan visual dan
keindahan simbolik. Keindahan visual terdapat pada :
a)
Pengaturan tinggi rendah bangunan
b)
Pengaturan hiasan bidang
c)
Pengaturan hiasan konstruktif
d)
Area-area yang diatur secara selaras dan harmonis
Sedangkan Keindahan Simbolik berisi makna simbolik dari relief-relief yang
berguna bagi kehidupan manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.
Ditinjau dari ukuran keindahan dalam estetika
Hindhu, candi memenuhi ke enam unsur keindahan, yang disebut dengan
istilah Sad-Angga. Ke enam unsur keindahan itu adalah:
1. Rupabedha, artinya perbedaan bentuk.
2. Sadresya, artinya kesamaan dalam hal penglihatan.
3. Pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat.
4. Warnikabhangga, artinya penguraian dan pembuatan
perbedaan warna.
5. Bhawa, artinya keindahan daya pesona yang
muncul [38]
Di Indonesia terdapat banyak candi peninggalan kerajaan
bercorak hindu budha, misalnya kerajaan syailendra, yang beragama Hindu
meninggalkan bangunan-bangunan candi di Jawa bagian utara, seperti candi-candi
kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo.
Kompleks Candi Dieng memakai nama-nama tokoh wayang seperti Candi Bima, Puntadewa,
Arjuna, dan Semar. Sementara yang
beragama Buddha meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon
dan Borobudur.[39]
Candi
Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari dinasti Syailendra pada abad
ke-9. Candi itu terletak di antara dua bukit, tepatnya di Desa Borobudur,
Kecamatan Borobudur, KabupatenMagelang. Candi Borobudur yang terletak pada satu
garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi Mendut dipandang sebagai satu kesatuan.
Letak candi seperti ini sesuai dengan aturan yang disebut dalam kitab-kitab
pedoman para seniman agama di India. kitab itu disebut dengan Vastusastra.
Suatu kitab yang menjelaskan tentang bangunan suci agama Hindu. Namun demikian,
aturan-aturannya juga digunakan sebagai desain bangunan suci agama Buddha.[40]
Borobudur
merupakan karya yang unik. Susunan Candi Borobudur berbeda dengan susunan candi
di India. Pada umumnya susunan candi di India berdiri di atas fondasi yang
tertanam di dalam tanah. Fondasi tersebut berdenah dengan jari-jari delapan. Di
titik tengah terdapat tiang yang dibuat tembus ke atas permukaan tanah, dan diteruskan
menjadi tongkat dengan payung. Candi Borobudur didirikan langsung di atas bukit
tanpa fondasi yang ditanam di dalam tanah seperti yang terdapat di India.
Dilihat dari susunannya, Candi Borobudur merupakan sebuah teras-stupa. Kaki stupa
berbentuk undak teras persegi, disusul teras mengalir yang dihiasi stupa.
Susunan candi ini memperlihatkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa pada abad
ke-8. Bangunan ini dinamai Bhumisambharabhudara yang artinya adalah
bukit peningkatan kebijakan setelah melampaui sepuluh tingkat Boddhisattwa.
Borobudur sendiri terdiri dari sepuluh tingkatan, yang dapat dipahami sebagai
lambang ke-10, jalan Boddhisattwa. Candi itu berbentuk bujur sangkar, dengan
ukuran 123 m x 123 m di bagian kakinya. Bentuk bangunan seperti itu dapat
ditafsirkan sebagai bentuk mandala. Tinggi Candi Borobudur adalah 35,4 m.
Secara vertikal Candi Borobudur terdiri dari dua pola, yaitu pola undak-undak
persegi dan pola bangun vertikal. Karena bentuknya itulah Candi Borobudur dapat
dipahami sebagai sebuah stupa yang besar. Dalam agama Buddha stupa merupakan
perwujudan dari makrokosmos yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu kamadatu,
rupadatu, dan arupadatu. Kamadatu merupakan alam bawah, bagian
ini berada di bagian bawah Candi Borobudur. Pada kamadatu terdapat
relief karmawibangga, yaitu suatu hukum sebab akibat, yang merupakan
hasil perbuatan manusia. Arupadatu adalah alam atas, yaitu tempat para
dewa. Bagian ini berada pada tingkat ketiga, termasuk stupa induk berada di
atas rupadatu. Cara membaca relief pada dinding Candi Barobudur searah
dengan jarum jam. Sebagai candi pemujaan, Borobudur mempunyai hubungan dengan
Candi Mendut dan Candi Pawon. Ketiga candi itu menunjukkan proses suatu ritual
keagamaan. Mula-mula ritual keagamaan dilakukan di Candi Mendut. Kemudian
dilakukan persiapan di Candi Pawon dan puncak ritual keagamaan dilakukan di
Candi Borobudur. Dari arca dan relief yang terdapat pada dinding dan pagar
candi menunjukkan bahwa Candi Borobudur sebagai penganut agama Buddha aliran
Mahayana. Dari arca dan relief itu juga dapat dilihat adanya penyatuan ajaran
Mahayana dan Tantrayana, sesuai filsafat Yogacara. Dalam relief itu tergambar
tentang kehidupan sehari-hari di Jawa, seperti cara berpakaian, rumah tinggal,
candi, alat berburu, alat-alat keperluan sehari-hari, serta jenis-jenis
tanaman.[41]
Dalam
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantranaya, pada abad ke-10, Mpu Sindok
dari dinasti Isana menyebarkan ajaran dari India, yaitu agama Buddha. Ajaran
itu disebarkan di Jawa dan disesuaikan dengan pengetahuan penduduk pada saat
itu. Lebih jauh lagi hasil pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk bangunan
candi oleh penduduk Jawa, bukan oleh penduduk India. Candi itu kemudian digunakan sebagai sarana
ibadah mereka. Bukti itu ditunjukkan dengan tidak adanya Kampung Keling yang
berada di sekitar Candi Borobudur. Bukti lainnya itu ditemukannya tulisan yang
memakai huruf Jawa kuno, dengan bahasa sanskerta, dengan tidak
menggunakan tata bahasa sanskerta.[42]
4.
Musik
Musik telah dikenal sejak zaman
dulu. Informasi ini diperoleh dari prasasti, relief candi dan naskah-naskah
kesusasteraan. Prasasti, banyak memberikan informasi mengenai seni music, seni
suara dan pertunjukan wayang. Sebutan seperti tuwung, mrdangga, murawa, curing,
dan padahi merupakan sebutan untuk jenis alat-alat music pada masa Indonesia
Kuna. Bentuk alat music juga terlihat dari relief-relief candi baik periode
Jawa Tengah maupu jawa Timur. Dan dalam kitab sastra dicantumkan nama-nama alat
music, misalnya saja alat music kendang dalam kitab smawaradahana
hariwangsa,dan tantri kamandaka, alat
music gambang dalam kitab malat, serta gong didalam kitab arjunawihaha,
sutasoma, lubdhaka,dan hariwijaya. Selain itu, dalam kitab kidung
harsawijaya, terdapat kata angidung yang artinya menyanyi.[43]
Seni musik pada jaman
dahulu lahir dengan hasrat orang pada waktu itu ingin memiliki bahasa khas,
yang berlainan dengan bahasa tutur, untuk komunikasi dengan dunia supranatural,
atau alam para arwah leluhur. Kata-kata ini tepat karena sebagai seni yang
berlainan dari bahasa, musik ternyata mampu mengungkapkan pengalaman batin yang
tak mungkin dideskripsikan. Musik mampu menuntun orang ke arah kebersamaan,
atau komunikasi berbagai perasaan dan pengalaman hidup, sehingga dapat disebut
sebagai suatu bentuk tingkah laku sosial dan mempersatukan kelompok lewat suatu
cara simbolik dan dapat diingat-ingat, sehingga dapat diulang-ulang dan
dirasakan bersama.[44]
Menurut Ki Ageng
Suryamentaram, seni musik mempunyai pengaruh untuk memperhalus budi pekerti
manusia. Seni musik dapat dibedakan menjadi :
1)
Lagu-lagu rendah misalnya lagu yang berirama marah,dan
jorok.
2)
Lagu-lagu sedang, misalnya lagu yang bernuansa gembira,
susah dan ngelangut.
3)
Lagu-lagu luhur, yaitu lagu-lagu cinta alam, Tuhan dan hidup
yang baik.
Musik tradisional di
Indonesia sebagian besar alatnya dimainkan dengan dipukul (musik perkusi).
Hanya beberapa alat saja yang cara memainkannya dengan ditiup.
5.
Wayang
Wayang mempunyai fungsi
sebagai tontonan dan tuntunan, yang di dalamnya terdapat "keindahan
bentuk" dan "keindahan isi". Macam-macam wayang diantaranya; wayang kulit/purwo, wayang golek, wayang
klitik, wayang orang, wayang topeng, wayang beber, wayang ukur.
Dari data sejarah
sekitar tahun 900 di Indonesia telah dikenal adanya wayang kulit dengan cerita
berinduk pada cerita epos India. Pada masa itu fungsi wayang hanya berupa media
upacara untuk memanggil roh nenek moyang. Pada masa Kadiri pertunjukan wayang
sudah lengkap dengan gamelang, suluk, sinden, dan kelir.[45] Wayang kulit dalam arti
lahir sebagai tontonan, dapat menjadi wayang purwo dalam arti bathin, yang
berisi tuntunan. Hal ini dibedakan karena fungsi kelir sebagai latar depan atau
sebagai latar belakang.
Wayang kulit dalam
artian lahir yaitu kulit yang diprada dengan warna-warni. Kelir merupakan
tempat Dalang dan menjadi latar belakang boneka kulit yang warna-warni itu dan
menjadi tontonan di siang hari serta penonton bebas berkomentar.
Wayang Purwa dalam
artian bathin merupakan tontonan dan tuntunan. Kelir menjadi latar depan yang
transparan dan menjadikan wayang kulit menjadi bayang-bayang kehidupan. Dalang
dan wayang ada di balik kelir.Kelir diibaratkan sebagai hati nurani rakyat,
yang perlu didengar dan ditanggapi secara positip.
Pada masa Islam, selain
cerita Mahabarata dan Ramayana juga berkembang cerita-cerita seperti cerita
Panji, Amir Hamzah dan cerita Babad. Dari cerita-cerita itu kemudian muncul
wayang jenis-jenis baru seperti wayang
gedog, wayang golek (wayang boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu), wayang
tengul (juga boneka dari kayu), wayang krucil, dan wayang golek sunda.[46]
Salah satu senjata yang ampuh dalam
dunia pewayangan adalah :Layang Kalimasada merupakan
Serat (tulisan) yang sakti dan disakralkan. Dalam lakon Baratayudha, Pandhawa
yang memiliki layang Kalimasada (mungkin Kalimah Syahadat (dan disimpan di
Udheng Prabu Darmo Kusumo.
6.
Seni tari
Hakekat seni tari adalah
gerak, dan gerak itu ditempatkan pada perspektif yang luas
sebagai salah satu aspek kebudayaan.
Menurut John Martin,
seorang ahli tari dari Amerika memberikan tekanan bahwa gerak betul-betul
merupakan substansi baku dari tari.[47] Gerak adalah pengalaman
fisik yang paling elementer dan pengalaman emosional dari kehidupan manusia.
Seni tari pada dasarnya merupakan ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan dalam
gerak-gerak yang ritmis.
Kamaladevi, seorang ahli
tari dari India berpendapat bahwa seni tari berlandaskan pada insting manusia,
dan materi dasar dari tari adalah gerak dan ritme. Tari dapat dikatakan sebagai
insting, suatu desakan emosi di dalam diri kita yang mendorong kita untuk
berekspresi yaitu gerakan-gerakan luar yang ritmis dan lama-kelamaan nampak
mengarah kepada bentuk-bentuk tertentu.[48] Sedangkam menurut
Soedarsono, ahli tari Indonesia, mendefinisikan tari adalah ekspresi jiwa
manusia melalui gerak-gerak ritmis yang indah.[49] Dalam definisi ini,
Soedarsono memakai gerak dan ritme sebagai substansi dasar, tetapi gerak-gerak
itu bukanlah tari apabila gerak-gerak itu adalah gerak-gerak sehari-hari atau
natural. Gerak-gerak ritmis itu distilir supaya indah. Istilah indah bukan hanya
berarti bagus, tetapi dapat memberi kepuasan kepada orang lain. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa gerak-gerak ritmis yang indah itu merupakan pancaran jiwa
manusia.
Di dalam tari Jawa, tari mempunyai
tiga unsur pokok yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1)
Wiraga, yakni keseluruhan gerak tubuh yang diperhalus dan
diperindah, sehingga merupakan bentukkan tari tertentu.
2)
Wirama, yakni wiraga tari tersebut diiringi suara gamelan
atau musik dan tersusun menurut ragam irama lagu gendhing.
3)
Wirasa, artinya wiraga yang berirama dan mengandung
arti, maksud dan rasa tertentu, yang diungkapkan secara simbolik atau
perlambang.
Dilihat dari fungsinya,
tari digolongkan menjadi :
1)
Tri upacara, misalnya tari Kecak, tari Bedhaya Ketawang
2)
Tari sosial/tari pergaulan, misalnya tari Poco-poco.
3)
Tari tontonan, misalnya saja tari Gambyong.
Dilihat dari penggarapannya, tari
dibedakan menjadi :
1)
Tari tradisonal, yaitu seni tari yang mempunyai sifat
turun-temurun dan mempunyai sifat tetap.
2)
Tari klasik, yaitu seni tari yang sudah ada di puncak
kesempurnaan dalam pola gerak seni tari tradisional.
3)
Tari kreasi baru, yaitu seni tari yang mempunyai sifat bebas
dalam berkreasi dan memadukan gerak-gerak tari tradisional dan tari klasik
dengan irama musik yang bebas pula.
7.
Upacara adat
Di Indonesia adat di
tiap-tiap daerah tidak sama. Hal ini disebabkan kebudayaan dan sifat-sifat dari
tiap-tiap kelompok masyarakat tersebut berbeda-beda. Adat senantiasa tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat adat itu berlaku. Dalam hal ini tidak mungkin
dibuat suatu adat yang baru, bila adat tersebut bertentangan dengan kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan.
Menurut FD. Hellman, adat di
Indonesia mempunyai 4 sifat umum yang merupakan satu
kesatuan,yaitu :
1)
Sifat religio magis (magisch-religiuos) yang merupakan
pembulatan atau pembedaan kata yang mendukung unsur beberapa sifat atau cara
berfikir seperti frelogika, animisme, ilmu gaib dan lain-lain.
2)
Sifat komun (commun) artinya sifat yang mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.
3)
Sifat konstan (constant) yaitu prestasi dan kontraprestasi,
dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga.
4)
Sifat-sifat konkret (visual). Pada umumnya masyarakat
Indonesia kalau mengadakan (melakukan) perbuatan hukum itu selalu konkret
(nyata).[50]
Upacara adat mempunyai :
1)
Nilai estetis dan simbolis
2)
Berlatar belakang kepercayaan agama
Misalnya upacara adat pernikahan
menurut agama Islam. Secara agama sahnya pernikahan adalah proses ijab-kabul. Secara
adat, pesta walimahan tiap daerah dan suku bangsa mempunyai tradisi yang
berbeda. Kegiatan ritual itu tujuannya semuanya sama,yaitu agar nanti menjadi
keluarga bahagia, lahir dan bathin.
F.
Estetika Timur
1. Estetika India
a. Natyasastra
Natyasastra merupakan karya sastra pertama tentang Estetika
di India yang ditulis pada abad ke-VI oleh Bharata, yaitu merupakan kitab
tentang pentas dan memandang seni drama sebagai seni yang bermutu tinggi.Disini
diuraikan tentang, "rasa" lahir dari manunggalnya situasi yang
ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang
senantiasa berubah.[51]
Rasa dalam bahasa Sanskerta dinamakan "bhava" yang
jumlahnya menurut kitab Natyasastra ada delapan yaitu emosi senang, kegembiraan,
kesedihan, kemurkaan, kebulatan tekad, ketakutan, kebencian dan emosi kagum.
Inilah delapan keadaan jiwa yang pokok dan baku, yang tertera dalam jiwa
manusia dan sewaktu-waktu dapat tumbuh dan disadarinya.
Kedelapan bhava ini tidak selalu nampak dalam keadaan yang murni
tetapi sering tercampur, saling berhubungan dan bersifat sementara.
Dalam estetika India masalah "rasa" juga dibahas
oleh;
1) Batta Lollata (abad ke 9);
"rasa",merupakan tingkat spiritual,yang ditingkatkan sampai
ketitik puncak tertinggi ,yang sebanding dengan situasi yang
direpretansentasikan,reaksi-reaksi siaktor dan lain-lain.
2) Sankuka; "rasa bukanlah tingkat
spiritual yang ditingkatkan ketitik puncak tertinggi, tetapi "rasa"
adalah suatu duplikasi dari suatu tingkat spiritual ,yang ditarik oleh penonton
dari pertunjukan itu, dari tingkah laku si aktor, dan selanjutnya.pengertian
tentang imitasi keadaan spirituil yang dinamakan sebagai "rasa"oleh
penonton, bagi Sankuka adalah lain dari semua bentuk kesadaran. Seekor kuda yang
diimitasi oleh seorangpelukis kataya, bagi yang melihatnya tampak bukan asli
dan bukan palsu, sekedar sebagai image, dan setiap penilaian baik tentang
realitasnya atau tentang tidak realitasnya, sama sekali tidak dapat diterima.
3) Batta Nayaka, "rasa"bukannnya
berada pada intensifikasi atau imitasi keadaan spiritual, ia tumbuh dari
kenyataan, bahwa di dalam pengalaman-pengalaman estetika, realita tidak
dipandang ada hubungannya dengan segala bentuk dari ego, tetapi telah di
"awamkan" dengan kata lain, drama yang dipergelarkan atau puisi yang
sedang di deklamasikan, mempunyayi kemampuan untukmembangkitkan didalam diri
penonton, dalam satu saat tertentu , sesuatu yang melampaui egonya sendiri atau
melampaui perhatian-perhatian praktisnya yang didalam kehidupan sehari-hari
disebut dengan "suatu lapisan tebal dari kebabalan mental" dari yang
membatasi dan meredepkan kesadarannya.
b. Silpa sastra :
Pedoman seniman dalam berkarya. Karya sastra dinilai
berkualitas dan indah apabila mematuhi aturan yang ada dalam silpa sastra.
Kecintaan terhadap alam merupakan unsur yang memberikan
inspirasi bagi seniman untuk berkarya .Seniman dalam menciptakan hasil karya
seninya, bersifat naturalis dan bernuansa religi, yang tidak realistis, yang
menggambarkan bentuk kesempurnaan dari bentuk alam.
Misalnya : Dewa
Durga mempunyai 10 tangan.
: Dewa
Siwa mempunyai 4 kepala.
2.
Estetika Tiongkok
Estetika Tiongkok dilandasi oleh kepercayaan
: Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme. Dalam kepercayaan Taoisme
mengajarkan hubungan antara manusia dan alam semesta. Budhisme mengajarkan
bagaimana hubungan antara manusia dengan yang mutlak, dan
Konfusianisme mengajarkan hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Berdasarkan kepercayaan ini konsep estetika Tiongkok bersifat naturalisme.
Segala sesuatu harus bercermin pada alam, termasuk hukum-hukumnya.
Tao : prinsip absolut yang menjadi sumber semua
nilai-nilai dan kehidupan. Tao berarti sinar terang dan sumber segala yang
sensasional. Manusia dianggap sempurna jika hidupnya diterangi oleh Tao. Tao
adalah kemutlakkan , sesuatu yang memberikan keberadaan, kehidupan dan gerak
serta membuat sesuatu serba tertib dan damai.[52]
3. Estetika Jepang
Konsep estetika Jepang adalah merupakan
perpaduan antara tradisi, kepercayaan dan alam. Ketiga hal ini hidup, tumbuh
dan berkembang sejak zaman dahulu sampai sekarang. Titik tolak estetika Jepang
adalah alam. Mereka mempunyai keyakinan bahwa fenomena-fenomena
alam sehari-hari seperti matahati, bulan, gunung, air terjun dan pepohonan
diyakini mempunyai roh atau "kami". Alam merupakan tempat para
pendekar menimba semangat perang dan alam pulalah yang menginspirasikan
seseorang untuk memperoleh semangat dan makna hidup. Agama/kepercayaan di
Jepang adalah Shinto dan Budha yang mengajarkan agar manusia dekat dengan alam.
Menurut kepecayaan Shinto, alam ini dianggap penuh dengan roh nenek moyang,
sehingga ada suatu kewajiban untuk memelihara kelestarian dan keselarasan
dengan alam. Hal ini dibuktikan dengan kecintaan yang dalam pada alam dan
pemahaman akan perubahan pada gejala musim yang selalu berganti. Kebudayaan
menikmati alam dikenal dengan nama "furyu" . Mereka yang tidak
mempunyai naluri furyu digolongkan sebagai orang yang sangat tidak berbudaya.
Naluri ini tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga mengandung makna religius.
Kepercayaan Budha berkembang di Jepang dengan ciri yang
khusus, dikenal dengan kepercayaan Zen Budha.
Zen Budha ini menghasilkan suatu adat istiadat (tradisi) Jepang yang khusus
yaitu "upacara minum teh" dan dianggap sakral, sejajar dengan upacara
keagamaan. Pengaruh Budhisme yang lain adalah "ketidaksimetrisan"
yang menjadi unsur yang memberi guratan dalam estetika Jepang .
Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai simetris yang itu-itu saja dan sedapat
mungkin menghindari keteraturan. Simetri dipandang menimbulkan kejenuhan dan
kekakuan. Oleh karena itu seniman Jepang menembusnya dengan gaya konvensional
yang dapat menerobos kekakuan dengan sentuhan warna yang lembut dan halus.
Pengaruh Zen Budha dalam bidang militer memungkinkan tinbulnya kelompok baru
yang dinamai "Samurai", dengan semangat Bushido. Golongan Samurai ini
dilambangkan sebagai bunga Sakura (bunga yang dianggap terindah di Jepang) yang
rela mati untuk mengabdi pada raja ( tuannya) walaupun di usia muda.
Hasil karya seni di Jepang
bersifat naturalis (mencotoh alam), karena itu bangsa Jepang ingin selalu
dekat, hidup selaras dan serasi dengan alam.
Konsep
estetika dalam kehampaan dan asimitris:
a. Kehampaan (kekosongan)
Konsep estetika di Jepang
dapat dilihat dari sudut perbandingan Barat dan Timur mengenai kehampaan. Salah
satu dasar pemikiran Barat ialah bahwa yang kosong (hampa) dianggap
tidak menarik. Hanya yang "berisi' atau "penuh' yang
menarik. Kehampaan (kekosongan) dianggap bisa menampilkan sesuatu. Kekosongan itu dapat diisi
informasi yang
lain, dan mungkin lebih dari itu, tidak hanya sekedar informasi. Kekosongan (kehampaan) bersifat
positif dan dinamis.
Estetika Timur bagaimanapun juga menganggap
bahwa keindahan itu mempunyai arti memiliki sesuatu yang menarik perhatian.
Misalnya dalam hal merangkai bunga Ikebana, ruang kosong diantara
tangkai-tangkai atau rantin-ranting mempertegas ruang dari tangkai atau ranting
yang terisi. Hal demikian itu, merupakan kombinasi atau gabungan yang terisi
penuh dan kosong atau hampa yang akan menciptakan pengalaman estetis. Seni
merangkai bungan Ikebana merupakan simbolisasi hubungan antara Ten, Chi
dan Jin (alam, bumi dan manusia) yang harmonis.
b. Asimitris
Asimitris menjadi unsur yang menjadi guratan mendalam dalam
estetika Jepang, hasil pengaruh dari Budhisme. Dalam kuil-kuil Budha yang
terdiri dari beberapa bangunan atau wisma dapat ditari sebuah garis lurus
antara wisma Dharma, wisma Budha, dan Pintu Gerbang, yang biasa diistilahkan dengan Gerbang Gunung, dan di
sekitar tiga bangunan itu ada beberapa bangunan yang tidak diatur secara asimetris. Asimetris juga terdapat dalam ruangan tempat upacara
minum teh berlangsung dan dalam taman
yang nyata dalam batu-batuan untuk jalan
setapak (Muji Sutrisno dan Chist Verhaak, 1993).
Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai simetris dan
sedapat mungkin menghindari keteraturan. Simetris dipandang menimbulkan
kejunehan dan kekakuan. Oleh karena itu, seniman menmbusnya dengan gaya
konvensional (asimetris) yang dianggap dapat menerobos kekakuan.
Masuknya aliran Zen dari Budhisme ke Jepang pada akhir abad
ke-11 terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan kepribadian masyarakat
setempat. Zennisme yang lebih cocok dengan kepribadian rakyat Jepang
membangkitkan kecenderungan masyarakat kembali ke agama aslinya, yakni Shinto.
Pada tahun 1868, Shinto dijadikan agama resmi Jepang. Tanpa meninggalkan
Budhisme, kebudayaan Jepang menjadi perkawinan antara agama Buda dan Shinto
disebut "Ryobo-Shinto" yang mengandung pengaruh besar dari aliran
Zen. Berdasarkan Sintese ini berkembanglah esteika Jepang yang sampai dengan
masa industrialisasi modern masih sangat menonjolkan ciri khasnya, yaitu:
a) Kesederhanaan (pengaruh Budha).
Perwujudan agar sepolos mungkin, tidak banyak perhiasan. Kepribadian Jepang
mencar kesungguhan dan kebenaran dengan kehidupan dalam kesederhanaan.
b) Disiplin yang keras pada dirinya
sendiri (pengaruh Shinto). Disiplin yang sangat menonjol dalam
kehidupansehari-hari, menyerap dalam perwujudan kesenian, hingga merupakan
unsur estetik yang khas Jepang yait disiplin dalam goresan dan disiplin dalam
kesederhanaan.
c) Logika. Semua perwujudan seni
harus memenuuhi syarat penggunaan yang praktis. Sebagai akibat dari unsur
logika ini, Jepang menjadi unggul dalam "industrial design" modern
dalam masa kini. Mereka erhasil mewujudkan seni, juga dalam bentuk-bentuk
mesin, mobil, kereta api, pesawat terbangm alat televisi, telepon, radio dan
komputer.
d) Hemat Ruang. Keterbatasan ruang
dalam kehidupan sehari-hari memaksa mereka menggunakan sedikit mungkin ruang.
Kebiasaan ini menjadi unsur kebudayaan tersendiri yang meresap kedalam konsep
estetika mereka[53]
3.
Estetika Mesir
Kepercayaan bangsa Mesir pada dewa-dewa, telah dikenal
semenjak jaman "Mina", yaitu kepala keluarga Fir'aun yang pertama,
kira-kira sekirat tahun 3300 sebelum masehi. Dewa-dewa cosmos itu, hidup subur
dalam alam kepecayaan bangsa Mesir, memberi bentuk dan corak yang tertentu
dalam pertumbuhan kebudayaan mereka. Sekalipun pada masa keruntuhan kerajaan
Mesir, bangsa Persi telah datang menaklukkan lembah Nil dan kemudian berpindah
tangan pada bangsa Romawi, namun kepercayaan kepada dewa-dewa itu masih tetap
merupkan satu-satunanya agama resmi dari bangsa mesir. Dalam abad ke 2 dan 3
masehi, agama nasrani telah meluan dalam lingkungan keluarga kerajaan. Sudah
banyak orang yang memeluk agam aitu namun bangsa mesir masih tetap dengan
kepercayaab mereka, walaupn mereka di bawah jajahan bangsa romawi. Bangsa Mesir
kono semenjak jaman pra sejarah sudah mengenal dan memuja dewa alam. Diantara
dewa-dewa yang terbesar dan pernah mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam
kepercayaan rakyat adalah Dewa Ra atau Re dan Dewa Osiris.
Kesenian di Mesir mempunyai dua
bentuk, yaitu :
a. Seni hieratis, yaitu seni yang
berdasarkan pada kepercayaan yang bersifat religius.
b. Seni rakyat, yaitu seni yang
berdasarkan kerajinan.
Kedua jenis seni itu bisa hidup secara berdampingan.
Seni arsitektur mempunyai tempat yang penting dalam
kehidupan masyarakat dan kehidupan religius, hal ini nampak dalam bangunan :
a) Makam : dengan bentuk
mastaba (pola geometris),untuk tempat jenasah,dan juga tempat untuk menyimpan harta
kekayaan.
b) Kuil/candi : kuil makam,
misalnya Ratu Hatshepsut, Kuil dewa, misalnya Amon di Karnak, di tepi sungai
Nil.
c) Piramida : merupakan lambang
kebesaran seni Mesir purbakala yang sampai sekarang masih tetap dikagumi,
karena bentuknya yang sangat besar .Bentuk bangun segi banyak
piramid dipandang sebagai bentuk bangun segi banyak yang unik dan dianggap
sakral.
Dalam
bidang seni pahat/seni patung :
a) Patung potret wajah Tutabkhamon
(berlapis emas)
b) Ratu Nefretete (arca sedada),
merupakan lambang kecantikan timur.
Sphinx ; manusia
singa.
Seni
relief : Fir'aun diperlihatkan sebagai raksasa yang ada
diantara orang-orang yang dipahat sangat kecil.
Tari perut merupakan seni tari yang sangat
terkenal dan berasal dari Mesir. Dalam bidang seni lukis, pewarnaan dengan
menggunakan lilin (pernis bening) sudah digunakan pada jaman Mesir kuno, yang
mempunyai kualitas tahan lama.
Keagungan
seni Mesir ada pada mutu kelanggengan seni itu sendiri,terdapat pada :
1).
Simetri, misalnya pada Mastaba.
2).
Ukuran raksasa/keagungan, misalnya pada Piramida.
3)
Kerumitan, ada pada patung-patung.
4).
Keindahan, terdapat pada relief, lukisan dan seni tari.
4.
Estetika Islam
Ada persepsi bahwa menikmati keindahan itu
akan merusak keimanan atau menyebabkan terperosok terhadap kesombongan yang
dibenci Allah dan seluruh manusia. Hal ini tidak benar karena di dalam sebuah
hadist, Ibnnu Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : "innallaaha
jamiilun yyuhibbul jamaal, yang artinya sesungguhnya Allah Maha Indah
dan Dia menyukai keindahan". Keindahan yang sempurna hanya ada pada
Allah.
Sudut pandang Islam Ortodok ,terutama yang bersandar kepada
mistik, tercermin pada pandangan Al-Qhazzali dalam buku Kimiya-i Sa'adat
(Kimiyatus sa'adah = uraian tentang kebahagiaan) yang ditulisnya sekitar tahun
1106. Menurut al-Ghazzali, keindahan sesuatu benda terletak di dalam perwujudan
dari kesempurnaan, yang dapat dikenalai kembali dan sesuai dengan sifat benda
itu. Bagi al-Ghazalli "jiwa" (roh) , spirit, jantung, pemikiran,
cahaya yang dapat merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam (inner world),
yaitu nilai-nilai spiritual, moral dan agama. Konsep tentang pengertian hakiki
ini memberikan suatu segi pemandangan baru atas keindahan dan seni, yang dapat
memuaskan hati. Sebuah lukisan atau bangunan yang indah juga mengungkapkan
tentang keindahan hakiki pada diri si pelukis atau arsitekya. Keindahan hakiki
ini terkandung dalam tiga prinsip:
a.
Pengetahuan : pengetahuan yang sempurna hanya ada pada Tuhan
b.
Kekuatan: yaitu kekuatan untuk membawa diri
sendiri dan orang lain kepada kehidupan yang
lebih baik.
c.
Kemampuan : yaitu kemampuan untuk menyingkirkan
kesalahan-kesalahan dan ketidak- mampuan.
Karena pengetahuan, kekuatan dan kemampuan untuk
menyingkirkan kesalahan yang absolut hanya pada Tuhan, dan karena sifat-sifat
demikian itu ada pada manusia dengan ukuran manusiawi dan juga berasal dari
Tuhan, maka berikutnya adalah : cinta pada manifestasi tentang keindahan hakiki
yang disuguhkan oleh seniman (artis) yang sempurna, akan membawa manusia kepada
Tuhan [54].
DAFTAR PUSTAKA
Anwar ,Wadjiz, Filsafat
Estetika. Yogyakarta: Nur Cahaya. 1980.
Bagus, Loren. Metafisika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1991.
Djelantik. Estetika,
Sebuah Pengantar. Bandung. Masyarakat seni Pertunjukkan Indonesia.1999.
Effendhie, Machmoed. Sejarah
Budaya 3. cet.1; Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999.
Hartaka, Dick. Manusia
dan Seni. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. 1984.
Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah
Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013.
Kadir, Abdul. Diktat
Estetika Barat (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art)
Yogyakarta: ASRI. 1974.
. Diktat Estetika Timur (terjemahan dari
Enciklopedia of the World Art) Yogyakarta: ASRI. 1974.
. Pengantar Estetika (terjemahan dari
Enciklopedia of the World Art). ASRI: Yogyakarta. 1975.
Musa, Asy’arie. Filsafat
Islam, Yogyakarta: Lesfi. 2008.
O. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat, Terj. Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1992.
Parta, Suhardjo.
Pathet-pathet dalam Gamelan Jawa, Prinsip-prinsip Pembentukannya, Latar
Belakang dan Alasannya. Yogyakarta: AMI. 1983
Rusliana, Iyus.
Pendidikan Seni Tari. Bandung: Angkasa. 1986.
Sachari, Agus. Estetika
Terapan. Bandung: NOVA. 1989
Shadily, Hassan,
Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru. 1980.
Sahman, Humar. Estetika, Telaah Sistemik dan
Historik. Semarang: IKIP Semarang, Press. 1993.
Soedarsono,
RM., Djawa dan Bali : Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di
Indonesia. Yogyakarta: Akademi Seni rupa Indonesia.
Sudiyat, Imam.
Hukum Adat. Yogyakarta: Liberty. 1982.
Sutrisno, Mudji
& Chist Verhaak, Estetika
Filasafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius. 1993.
Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Filsafat. cet. III; Bandung; PT.
Refika Aditama. 2010
The Liang Gie.
Garis Besar estetika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta:
Karya Kencana. 1976.
. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu berguna (PUBIB).
1996.
Widodo, Sembodo Ardi. Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan
Islam. Cet. III; Jakarta: PT. Nimas Multima. 2008.
Yahya, Amri. Seni
Lukis Batik sebagai Sarana Peningkatan Apresiasi Seni Lukis Kontemporer.
Yogyakarta: IKIP. 1971.
[1]Sembodo Ardi
Widodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam (cet. III; Jakarta:
PT. Nimas Multima, 2008), h. 5.
[2]Sembodo Ardi
Widodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, h.13
[3]Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacanan Yogya, 1992) h. 72
[5] The
Liang Gie, Garis Besar
estetika (Filsafat Keindahan), (Yogyakarta: Karya Kencana,1976),
h.15
[7] The
Liang Gie, Filsafat
Keindahan, (Yogyakarta:
Pusat Belajar Ilmu berguna (PUBIB) 1996), h.
17-18.
[9] Inu Kencana
Syafiie. Pengantar Filsafat, (cet. III; Bandung; PT. Refika
Aditama, 2010) h.37
[15]Wadjiz Anwar, L.Th., Filsafat Estetika (Yogyakarta: Nur
Cahaya, 1980), h. 87
[16]Abdul Kadir, Pengantar Estetika (terjemahan dari
Enciklopedia of the World Art) (ASRI: Yogyakarta, 1975).
[17]Abdul
Kadir, Abdul Kadir, Diktat Estetika
Barat (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art) (Yogyakarta: ASRI, 1974),
h.37
[18]Abdul
Kadir, Pengantar Estetika (terjemahan dari Enciklopedia of the World
Art), h.38
[19]Abdul
Kadir, Pengantar Estetika (terjemahan dari Enciklopedia of the World
Art), h.40
[20]Wadjiz
Anwar, L.Th., 1980, Filsafat Estetika, h.23
[21]Wadjiz
Anwar, L.Th., 1980, Filsafat Estetika, h.23
[22]Mudji
Sutrisno, Chist Verhaak, Estetika Filasafat Keindahan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), h. 48
[23]Loren
Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 117
[24]Humar Sahman, Estetika, Telaah Sistemik dan Historik,
(Semarang: IKIP Semarang, Press, 1993), h. 189-190.
[28]Hassan
Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1980) h.104
[29]Agus
Sachari, Estetika Terapan, (Bandung: NOVA, 1989) h. 29.
[30]Dick
Hartaka, Manusia dan Seni (Yogyakarta :Yayasan Kanisius, 1984), h. 12
[31]Dick
Hartaka, Manusia dan Seni, h. 8
[32]Dick
Hartaka, Manusia dan Seni, h. 8
[33]
The Liang Gie, Garis Besar estetika (Filsafat
Keindahan), h.56
[34]The
Liang Gie, Garis Besar estetika (Filsafat Keindahan), h.54
[36]Amri
Yahya, Seni Lukis Batik sebagai Sarana Peningkatan Apresiasi Seni Lukis
Kontemporer, (Yogyakarta: IKIP, 1971), h.24
[37]Cassirer
Ernts, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah
Isei tenta Manusia. Alih Bahasa Alois A. Nugroho, ( Jakarta: PT.
Gramedia,1987), h. 40
[38]
Djelantik, Estetika, Sebuah Pengantar, Masyarakat seni
Pertunjukkan Indonesia, (Bandung,1999), h. 195.
[39]
Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Indonesia. (Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013).h.89
[40]Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Indonesia, h.90
[41]
Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Indonesia , h.91
[42]Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Indonesia, h.92
[43]Machmoed Effendhie.
Sejarah Budaya 3. (cet.1; Jakarta: departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1999), h. 107-108
[44]Suhardjo
Parta, Pathet-pathet dalam Gamelan Jawa,
Prinsip-prinsip Pembentukannya, Latar Belakang dan Alasannya, (Yogyakarta:
AMI, 1983), h.11.
[45]
Machmoed
effendhie. Sejarah Budaya 3, h. 108
[46]
Machmoed
effendhie. Sejarah Budaya3, h. 110
[47]Soedarsono,
RM., Djawa dan Bali : Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di
Indonesia, (Yogyakarta: Akademi Seni rupa Indonesia, 1972), h.2
[49]
Soedarsono, RM., Djawa dan Bali : Dua Pusat Perkembangan
Drama Tari Tradisional di Indonesia,1972. h.
4.
[52]Agus
Sachari, Estetika Terapan, (Bandung: NOVA, 1989), h.21
[53]
Djelantik, 1999, Estetika, Sebuah Pengantar,1999, h.199-200.
[54]
Abdul Kadir, Diktat Estetika Timur (terjemahan dari
Enciklopedia of the World Art) Yogyakarta: ASRI, 1974), h. 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar