Minggu, 10 April 2016

TEORI-TEORI PSIKOLOGI YANG RELEVAN DENGAN PENDIDIKAN





TEORI-TEORI PSIKOLOGI YANG RELEVAN DENGAN PENDIDIKAN



 











MAKALAH
Dipresentasikan Dalam Seminar Matakuliah Psikologi Pendidikan
Semester II Tahun Akademik 2015/2016

Oleh:

Ahmad Ari Suhud
NIM: 80200214025

Bahar
NIM: 80200214027


Dosen Pemandu:

Prof. Dr. H. Abd. Rahman Getteng. MA.
Dr. Ulfiani Rahman, MA.



PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Teori belajar selalu bertolak belakang dari suatu pandangan psikologi belajar tertentu. Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka berbarengan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tetang balajar. Justru dapat dikatakan, bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar, maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang secara pesat.
Teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Berangkat dari dasar ini kemudian banyak ahli yang menghasilkan teori-teori pembelejaran yang kemudian mempengaruhi generasi-generasi berikutnya untuk menghasilkan teori-teori baru dalam pembelajaran.
Makalah ini mempertemukan berbagai teori pendidikan yang telah dikembangkan dari teori pendidikan pada masa lalu dan masih terus berkaitan dengan teori-teori yang diterapkan dimasa kini, dengan ulasan ringan tentang teori-teori belajar yang menghubungkan anatra ilmu psikologi dan ilmu pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis menarik beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.      Bagaimana ragam teori-teori belajar menurut ilmu psikologi?
2.      Bagaimana penerapan teori psikologi dalam belajar?


C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang ada, tujuan penyusunan makalah ini sebagai berikut:
1.   Untuk mengetahui ragam teori-teori belajar menurut ilmu psikologi
2.   Untuk mengetahui penerapan teori psikologi dalam belajar.



















BAB II
PEMBAHASAN
A. Koneksionisme
 Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat di dominasi oleh pengaruh Thorndike (1874–1949). Teori belajar Thorndike ”connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi koneksi antara stimulus dan respon. Berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan–hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.[1]
Dalam teori Thorndike orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon dilakukan dengan ulangan-ulangan makanya teori ini biasa dikenal dengan istilah triad and error.
Dalam triad and error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini dihadapkan dengan keadaaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifa coba–coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemukan respon.[2]
Jadi Belajar menurut Thorndike adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat meransang terhjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan.
Dalam sebuah percobaan Thorndike menggunakan Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk sangkar berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit gerendel pintu dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia dalam sangkar tadi.
Keadaan dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka teki ) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar dan melompat dan berlari larian namum gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya entah bagaiman secara kebetulan kucing tersebut berhasil menekan pengungkit dan terbukalah sangkar tersebut. Eksperiman puzzle box ini kemudian dikenal dengan nama Instrumental Conditioning. Akhirnya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. Berdasarkan eksperimen di atas Throndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Psycology of Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu  tujuan.
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen thordike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dengan respon akan semakin kuat. Sebaliknya semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut[3].
            Dari penelitiannya, Thorndike menemukan hukum-hukum:
1.      law of readiness (hukum kesiapsiagaan/kesediaan)”: pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction unit (satuan perantara), unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat sesuatu. Jelas hukum ini semata-mata bersikap spekulatif dan hanya bersifat historis.
2.      law of exercise (hukum latihan)”: artinya perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau  di gunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use), begitupun sebaliknya.
3.      law of effect (hukum kesan)”: bila mana trerjadi hubungan antara stimulus dan respon dan di barengi dengan ”state of affair” yang memuaskan maka hubungan itu menjadi lebih kuat dan begitu pula sebaliknya. [4]
4.      Multiple Response (Hukum Reaksi bervariasi)” untuk memperoleh respon yang tepat didalam memecahkan masalah, dudahului respon trial and error sebagai bentuk macam-macam respon. [5]
Teori belajar hasil eksperimen Thorndike di atas  secara prinsial bersifat behavioristik artinya lebih menekankan timbulnya perilaku jasmani yang nyata dan dapat di ukur.jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar dalm teori behavioristik yang telanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan itu.
Aplikasi teori Thorndike dalam pembelajaran dapat dilihat dalam situasi pembelajaran berikut ini:
1.      Sebelum guru memulai mengajar, maka anak-anak disipakan mentalnya terlebih dahulu, misalya disuruh duduk rapi, tenang dan sebagainya. Guru juga menyiapkan bahan belajar yang menarik rangsangan yang sesuai dan teknik pendekatan praktika. Dan guru harus mengetahui tahap-tahap murid dengan berinteraksi dengan menanyakan hal-hal umum.
2.      Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat dengan sistem drill.
3.      Guru memeberikan bimbingan, pemberian hadiah reward dan pujian. Seelok-eloknya, guru perlu memeberikan ganjaran atau hadiah kepada peserta didik yang menguasai materi. [6]
B. Belajar Klasikal
Pada 1904, Ivan P. Pavlov (1849-1936) memenangkan hadiah nobel dibidang psikologi dan kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan. Dalam penelitianya ia menjalankan operasi yang cukup rumit, membuka lambung seekor anjing melalui dinding  perutnya. Ia mengamati bahwa munculnya kelenjar (sekresi) dalam perut pertama-tama dipicu bukan karena adanya makanan yang memasuki perut melainkan karena anjing tersebut mengunyah atau melihat makanan, dan disini ia mencatat bagaimana sekresi antisipatoris ini menunjukkan aspek paling menarik dari proses pencernaan.
Adapun Pelaksanaan Prosedur eksperimen Pavlop adalah:
1.      Anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya (untuk keperluan pengukuran sekresi ludah), dibiarkan kelaparan. Kemudian bel dibunyikan dan 30 detik setelah bel berbunyi makanan (daging) diberikan
2.      Percobaan tersebut diulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
3.      Setelah 32 kali percobaan, ternyata bunyi bel saja telah menyebabkan kelaurnya air liur anjing dan bertambah deras bila makanan diberikan. Menurut Pavlov, daging berfungsi sebai reinforcement penguat.
4.      Berdasarkan eksperimen tersebut, bell merupakan conditional stimulus daging merupakan unconditional stimulus dan air liur karena bunyi bell disebut conditioning respon.
Hasil eksperimen Pavlov tersebut memunculkan teori yang disebut dengan teori classical conditioning (pengkondisioan klasik). Artinya stimulus yang dikondisikan dapat digunakan untuk menggatikan stimulus-stimulus alami untuk menghasilkan respon-respon yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan demikian, dalam proses belajar dengan tigkah laku sebagai ukuran keberhasilannya dapat dilakukan melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan (conditioning Process).[7]
Aplikasi teori Pavlov dalam pembelajaran dapat dilihat dalam situasi pembelajran berikut ini:
1.      Membuat kegiatan belajar seperti membaca menjadi lebih menyenangkan bagi siswa dengan cara membuat ruang membaca yang enak, nyaman, dan menarik.
2.      Mendorong dan mengaktifkan siswa yang pemalu, tetapi pandai dengan cara memintanya membantu siswa lain yang tertinggal materi mengenai cara memahami materi pelajaran atau trik dan cara mempelajari materi-materi tertentu
3.      Membuat tahap-tahap rencana jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya melalui kegiatan tes atau ulangan harian, mingguan, dan sebagainya agar siswa menguasai pelajaran dengan baik.
4.      Apabila ada siswa yang merasa takut atau minder berbicara di depan kelas, dapat dibantu melalui aktivitas-aktivitas sederhana mulai dari membaca laporan di dalam sebuah kelompok sambil duduk kemudian berdiri, serta kemudian berpindah kelompok yang lebih besar sampai berani membacakan laporan didepan kelas.[8]
C.  Belajar Instrumental
Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904) berkebangsaan amerika, ia meraih gelar master Tahun 1930 dan Ph.D tahun 1940 dari universitas Harvard. Ia mengajar di Universitas Minnesota tahun 1936 dan melanjutkan karir di Indiana sebagai pimpinan Departemen Psikologi dan 1948 kembali lagi ke Harvard.
Operant adalah sejumlah perilaku respon yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam salah satu eksperimenya[9], Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box” peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandem dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandem adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakanya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebgainya. Aksi-aksi seperti itni disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut ( seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa eksperiman skinner di atas mirip sekali dengan trial and error rearning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal jni, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/penguatan. Dengan demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of effect.
Selanjutnya, proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasan yang klasik.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov diatas secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat Otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologikognitif, karakteristik belajar yang terdapat dalam teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Diantara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut, yakni[10]:
1.      Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
2.      Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self-control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
3.      Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengna hewan.
D. Belajar Peta Pikiran (Tolman)
Tolman lahir di Newton, Massachusetts, dan meraih gelar B.S. di Massachusetts Institute of Technology di bidang elektrokimia pada 1911. Gelar M.A. (1912) dan Ph.D (1915) di Hardvard University untuk bidang psikologi disinilah ia belajar tentang behavioris.
Tolman memandang dengan menjadikan elemen-elemen kecil, sesungguhnya behavioris telah membuang artinya secara utuh. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal seperti itu mungkin juga untuk dijadikan sebagai objek ketika belajar tentang molar behavior secara sistematis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Tolman seorang behavioris secara metodologi dan teoris kognitif dalam hal metafisik. Dengan kata lain, ia belajar behavior untuk menentukan proses kognitif.[11]
Tolman mengatakan bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan disebut tingkah laku molar. Tingkahlaku molar ini terdiri dari tingkahlaku-tingkahlaku yang lebih kecil yang disebut molekular.[12] Karakteristik utama molar behavior (perilaku molar) adalah perilaku itu purposive (memiliki tujuan); yakni ia selalu diarahkan untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini, teori Tolman disebut sebagai purposive behaviorism (behaviorisme purposif) sebab ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan atau dengan kata lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu.[13]
Tolman memperkenalkan penggunaan variable Intervening (penyela atau perantara) dalam riset psikologis, dan Hull meminjam gagasan itu darinya. Sehingga keduanya menggunakan variable intervening dengan cara yang serupa dalam penelitiannya. Akan tetapi, Hull mengembangkan teori belajar yang lebih luas dan komprehensif dari pada Tolman.
Berikut ini adalah sumsi-asumsi umum yang dikemukakan Tolman dalam proses belajar: [14]
Tolman mengatakan bahwa dalam belajar, hal yang utama adalah proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Organisme yang sampai pada ekplorasi, akan menemukan bahwa peristiwa tertentu, akan menimbulkan peristiwa lain atau satu isyarat akan menghasilkan isyarat lain. Oleh karena itu, Tolman lebih dikenal sebagai ahli teori S-S. Pengetahuan bagi Tolman adalah suatu proses berkelanjutan yang tidak memerlukan motivasi apapun.
Beberapa asumsi-asumsi umum yang dikemukakan Tolman dalam proses belajar, antara lain:
1.      Pengertian belajar, menurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi atau dengan kata lain proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
2.      konvirmasi versus reinforcement, Tolman menganggap bahwa reinforcemen yang ada dalam behavioris itu sebagai konfirmasi.
3.      vicarious trial dan error, yaitu kegiatan berhenti sejenak seolah-olah berfikir.
4.      performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar ke dalam prilaku.
5.       Latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak langsung dalam kinerja seseorang.
6.      Ekspektasi penguatan, Tolman memprediksikan jika reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan
Belajar menurut Tolman Dalam artikel “There is more than one kind of learning,” dia mengusulkan enam jenis belajar. Ringkasnya adalah sebagai berikut:
1.      Cathexis adalah tendensi belajar untuk mengasosiasikan objek tertentu dengan keadaan dorongan tertentu.
2.      Keyakinan ekuivalensi yaitu ketika “sub tujuan” memiliki efek yang sama dengan tujuan itu sendiri, maka sub tujuan itu dikatakan merupakan keyakinan ekuivalensi
3.      Ekspektasi medan yaitu organisme belajar bahwa sesuatu akan menimbulkan sesuatu yang lain. Setelah melihat isyarat tertentu, misalnya, ia akan berharap isyarat lain akan muncul. Pengetahuan umum tentang lingkungan ini digunakan untuk menjelaskan belajar laten, belajar ruang, dan penggunaan jalan pintas.
4.      Mode medan-kognisi yakni strategi, suatu cara, untuk menangani situasi pemecahan problem. Ini adalah tendensi untuk mengatur bidang perseptual dalam konfigurasi tertentu. Tolman menduga bahwa tendensi ini adalah bawaan namun dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Dalam kenyataannya, sebagian besar hal penting mengenai strategi yang berhasil dalam memecahkan problem adalah strategi itu akan di uji cobakan lagi dalam situasi yang sama di masa mendatang. Jadi, mode medan kognisi yang efektif, atau strategi pmecahan masalah yang efektif, di transfer ke problem terkait.
5.      Diskriminasi dorongan berarti bahwa organisme dapat menentukan keadaan dorongan mereka sendiri dan karenanya dapat merespon dengan benar.
6.      Pola motor) adalah usaha untuk memecahkan kesulitan ini, Tolman menerima pendapat Gutrhie tentang bagaimana respon diasosiasikan menjadi stimuli. Sepert tampak dalam perkataannya berikut ini: “saya mencoba menerima dan sepakat dengan Guthrie bahwa kondisi dimana pola motor di dapatkan mungkin adalah kondisi dimana  gerakan tertentu membuat hewan menjauhi stimuli yang hadir saat gerakanitu dimulai.[15]
Dalam banyak hal, Tolman dan Gestalis, sepakat mengenai pendidikan. keduanya menekankan pentingnya pemikiran dan pemahaman. Menurut Tolman murid perlu melakukan tes hipotesis dalam situasi problem. Ia juga mengatakan bahwa belajar bukan hanya soal memberi respon atau strategi yang benar, tatapi juga menghilangkan respos atau strategi yang salah. Sedangkan guru bertindak sebagai konsultan yang membantu siswa dalam menjelaskan dan mengkonfirmasi atau menolak hipotesis.
Seperti teoritisi Gestalt, Tolman juga menunjukkan bahwa siswa semestinya dihadapkan pada topic dan berbagai sudut pandang yang berbeda. Proses ini akan memungkinkan siswa untuk mengembangkan peta kognitif yang akan dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang topic tertentu dan topic lainnya.[16]
E. Belajar observasi (bandera)
Albert Bandura Lahir 4 Desember 1925 di Kanada. Latar belakang pendidikannya adalah pada bidang psikologi.eksperimen bandura yang sangat familiar adalah eksperimen Bobo Doll. Hal ini disebabkan eksperimen ini menggunakan boneka dan anak kecil. Prosesnya adalah anak kecil diletakkan disebuah ruang yang terpisah dengan sekat kaca yang tembus pandang one way screen, diruangan sebelahnya, boneka dan seorang dewasa yang telah dikondisikan ditempatkan sehingga si anak dapat melihat aktifitas orang dewasa dengan bonekanya. Orang dewasa tersebut kemudian melakukan tindakan-tindakan yang bervariasi dengan bonekanya, memainkannya, memperlakukannya secara kasar (dipukul, ditendang, dan sebagainya) sesuai dengan scenario yang telah dibuat dalam jangka waktu tertentu.
Beberap saat kemudian, setelah diberi waktu jeda giliran si anak ditaruh di ruangan yang sam persis dengan ruangan yang tadi ditempati orang dewasa dengan bonekanya. Beberapa saat diamati pada awalnya anak tersebut tidak memunculkan perilaku yang aneh dan hanya bermain dengan bonekanya secara wajar. Namun demikian, setelah beberapa saat bermain dengan bonekanya, mulai tampak dan muncul perilaku-perilaku kasar serta agresif seperti dilakukan orang dewasa dalam memperlakukan bonekanya. Perilaku perilaku tersebut sama persis dengan yang dilakukan orang dewasa terhadap bonekanya. Proses peniruan-peniruan inilah yang kemudian disebut oleh Bandura sebagai proses modeling.
Hasil eksperimennya memunculkan teori yang dikenal sebagai teori belajar social (social Learning). Teori belajar social dari Albert Bandura menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku dalam proses belajar, membentuk sikap siswa, serta memengaruhi reaksi orang lain dalam proses belajar. Artinya proses belajar pada individu akan lebih banyak terjadi melalui proses modeling., dari pengamatan satu ke pengamatan laiinya yang membentuk sebuah perilaku baru yang akan digunakan sebagai pedoman dan patokan dalam bertindak. [17]
Belajar model didefinisikan Bandura sebagai proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Sinonim dengan belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi. Belajar model merupakan bentuk belajar yang kompleks. Menurut “Teori Sosial Mengenai Belajar” (Social learning theory), maka suatu tingkah laku dapat dipelajari dengan hanya “melihat” saja. [18]
Teori belajar Bandura lebih mengajukan peranan faktor–faktor kognitif daripada analisis tingkah laku. Asumsi terpentingnya adalah bahwa belajar observasional terjadi ketika tingkah laku observer (anak) berubah sebagai hasil dari pandangannya terhadap tingkah laku seorang model (seperti orangtua, guru, saudara, teman, pahlawan, dan bintang film). Hal sangat penting dari modelling adalah mencontoh tingkah laku yang diobservasi atau mengabstraksinya dalam bentuk yang umum. Bandura meyakini bahwa belajar melalui observasi (observational learning) atau modelling itu melibatkan empat proses yaitu sebagai berikut:
1. Attentional, yaitu proses dimana observer atau anak menaruh perhatian terhadap tingkah laku atau penampilan model (orang yang diimitasi).
2. Retention, yaitu proses yang merujuk pada upaya anak untuk memasukkan informasi tentang model, seperti karakteristik penampilan fisiknya, mental, dan tingkah lakunya ke dalam memori.
3.Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak dapat mereproduksi respons atau tingkah laku model. Kemampuan mereproduksi ini bisa berbentuk keterampilan fisik atau kemampuan mengidentifikasi tingkah laku model.
4. Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku model yang diimitasi oleh anak. Dalam proses ini terdapat faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu “reinforcement” (penguatan) atau “punishment” (hukuman), apakah terhadap model atau langsung pada anak.
Mengenai pertanyaan orang mana yang dapat dipilih sebagai model, tidak dapat ditentukan secara jelas. Untuk dapat menjadi model, kasih sayang dan kehangatan bukan merupakan unsur–unsur yang menentukan. Juga tidak harus ada interaksi langsung dengan modelnya. Yang penting ialah bahwa tindakan–tindakan model tersebut harus dapat berhasil dan bahwa antara model dan anak harus ada sesuatu persamaan tertentu.
            Pada teori belajar Bandura inipun dikemukakan tentang konsep Self Regulation. Yaitu suatu pemahaman bahwa individu memiliki kemampuan mandiri untuk melatih beberapa pengaruh dari perilakunya dengan menyusun lingkungannya, menciptakan dorongan kognitif dan memproduksi konsekuensi atas aksi–aksi mereka sendiri.
            Selain itu pada teori belajar Bandura juga disinggung mengenai konsep Self Efficacy (perasaan mampu), yaitu keyakinan akan kemampuan untuk dapat mengatasi situasi–situasi yang sulit dan menciptakan hasil–hasil yang diinginkan. Orang dengan self efficacy nya tinggi akan memiliki daya tahan yang lebih tangguh dalam menghadapi tantangan dan masalah–masalah untuk mencapai hasil yang diharapkannya. Sedangkan orang dengan self efficacy yang rendah mudah menjadi putus asa bila menghadapi tantangan atau masalah sewaktu berusaha mencapai hasil yang diinginkan. [19]
Menurut Bandura terdapat 4 sumber terbentuknya dan peningkatan self efficacy ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Performance accomplishment, Yaitu dengan menimbulkan prestasi–prestasi yang berhasil dalam situasi nyata, bukan dalam suatu penggambaran simbolik tentang situasi tersebut. Dengan memberi individu kesempatan untuk mengalami keberhasilan secara berulang–ulang, maka harapan–harapan kemampuan yang kuat akan berkembang, khususnya jika individu dapat mengatribusikan keberhasilan itu pada usaha–usahanya sendiri, bukan karena campur tangan pihak luar.
2.      Vicarious experiences, yaitu pengalaman–pengalaman melalui orang lain yang tersimpan dalam pikiran. Seperti mengamati seorang model yang berhasil melakukan suatu kegiatan yang ditakuti.
3.      Verbal persuasion, yaitu pengaruh secara verbal (kata–kata) dari orang lain. Seperti: usulan, nasihat, peringatan, persuasi terhadap diri sendiri, menjelaskan hal yang tidak menyenangkan pada hal–hal yang masuk akal (berfikir positif)
4.      Emotional arousal, yaitu pengontrolan emosi untuk menghilangkan emosi–emosi yang negatif. Seperti: relaksasi, membayangkan hal–hal yang tidak menyenangkan sebelum benar–benar terjadi, kemudian melatih cara–cara mengatasinya.[20]




Aplikasi Teori belajar Social Learning meliputi:
1.      Latihan penguasaan
Mengajari teman menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya. Cara ini dilakukan melalui treatment konseling melalui cara-cara mendalam.
2.      Modeling terbuka
Subjek dapat melihat model secara nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya mengikuti tingkah laku yang diinginkan, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri.

3.      Modeling simbolik
Subjek melihat model melalui media. Kepuasaan vicarious dapat mendorong pengamat untuk mencobanya.[21]
Dari uraian diatas tentang teori belajar yang dikembankang oleh albert bandura maka pembelajaran diangap lebih kompleks karena menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. Bukan semata-mata reflex yang timbul akan tetapi dihubungkan dnegan reaksi yang timbul akibat dari kgonitif seseorang dan lingkungannya.
Selain itu kelemahan dari teori ini jika seseorang memfokuskan peniruan kepada seseorang maka dia akan mampu meniru semua tingkah laku yang dilakukan oleh model ayng menjadi panutannya baik itu yang sifatnya negative maupun positif.
BAB III
PENUTUP
  A. Kesimpulan
Macam-macam teori pembelajaran,diantaranya: teori koneksionisme, teori pembiasaan klasik, teori pembiasaan perilaku respons, teori pendekatan kognitif.
Dalam teori koneksionisme  kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar.Seandainya kucing itu kenyang , sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect.
Berdasarkan teori pembiasaan klasik semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons.
Proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987)
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan, kayakinan dan sebagainya.
B.  Saran
Dalam pembahasan di atas banyak para pakar  psikologi yang menghabiskan waktunya untuk melakukan eksperimen agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam menerapkan suatu sistem pembelajaran, selaikn waktu pastinya juga biaya. Sehingga tidak mudah untuk menjadi seorang pendidik kita memerlukan teori agar ilmu yang kita sampaikan kepada peserta didik bisa dicerna dengan baik, sehingga kita perlu untuk mempelajarinya, karena seorang pendidik tidak dikatakan berhasil apabila ia belum bisa membuat anak didiknya mengerti tentang apa yang diajarkan.















                                            DAFTAR PUSTAKA

Muhibbin Syah,  Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Cet.14; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar , Cet.I;Makassar:Alauddin University Press. 2013.
Dalyono, M. Psikologi pendidikan , Rineka Cipta:jakarta, 2009.
Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran, Cet.I;Ar-Ruzz Media: Jogjakarta, 2013.
B.R. Hergenhann & Matthew H. Olson, Theories of Learning, terjemah: Triwibowo B.S., Jakarta: Kencana. 2010.
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Sugihantoro, dkk, Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press, 2007.
Hill, Winfred F., Theories of Learning, terjemah: M. Khozim, Bandung; Nusa Media, 2011.
Hall, Calvis S. & Gardner Lindzey. Teori-teori Sifat dan Behavioristik (Yogyakarta.: Penerbit Kanisius, 1993.


[1]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Cet.14;Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 105
[2]Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar (Cet.I;Makassar:Alauddin University Press. 2013), h.23
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h. 106
[4] Dalyono, M. Psikologi pendidikan  (Rineka Cipta:jakarta) 2009.  h. 38
[5]Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran (Cet.I;Ar-Ruzz Media: Jogjakarta, 2013), h.152
[6]Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 69
[7]Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran,  h.153-154
[8]Muhammad Irham dan Novan Ardi Wiyani, Psikologi pendidikan Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran,  154
[9]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h. 106-107
[10] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru , h.108
[11]B.R. Hergenhann & Matthew H. Olson, Theories of Learning, terjemah: Triwibowo B.S. (Jakarta: Kencana. 2010),  h.330
[12]Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 140.
[13] Hill, Winfred F., Theories of Learning, terjemah: M. Khozim, (Bandung; Nusa Media, 2011), h.170.
[14] Hergenhann & Matthew H. Olson, Theories of Learning, 333-342.
[15] Hergenhann & Matthew H. Olson, Theories of Learning, 347-349.
[16] Hill, Winfred F., Theories of Learning, terjemah: M. Khozim, h. 351
[17] Sugihantoro, dkk, Psikologi pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2007), h. 101
[18] Hill, Winfred F., Theories of Learning, terjemah: M. Khozim, h. 79
[19] Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 84-85
[20] Hall, Calvis S. & Gardner Lindzey. Teori-teori Sifat dan Behavioristik (Yogyakarta.: Penerbit Kanisius, 1993)  h.45
[21] Ulfiani Rahman, Nuansa Baru Psikologi Belajar, h. 88-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar